REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Calon presiden dari Demokrat Joe Biden pada Jumat mencemooh Presiden Donald Trump karena tak berbicara tentang penindasan terhadap protes demokratis di Belarus, satu negara yang dia sebut sedang diperintah oleh seorang "diktator".
Lebih dari 12 ribu orang ditangkap, dan ratusan masih dipenjara, sejak Presiden Alexander Lukashenko diumumkan menang telak dalam pemilihan presiden 9 Agustus. Kelompok oposisi di negara bekas Soviet itu menilai hasil pilpres itu penuh kecurangan.
Dalam pernyataan yang dikirim kepada Reuters lewat surel, Biden berpihak pada ekspresi kebebasan damai para demonstran dan menuntut pemilu diulangi.
Biden, mantan wapres dan ketua Komisi Hubungan Luar Negeri di Senat yang berselisih dengan Rusia mengenai Eropa timur, juga menuntut pembebasan terhadap beberapa orang yang merupakan pemimpin oposisi yang disebutnya para tahanan politik.
"Namun Presiden Trump menolak berbicara menentang tindakan Lukashenka atau memberikan dukungan pribadinya bagi gerakan pro demokrasi," kata Biden, menggunakan ejaan alternatif pada nama politisi Belarus itu.
Lukashenko secara tiba-tiba dikukuhkan pada Rabu dalam apa yang Biden sebut sebagai suatu "upacara palsu". Pada hari yang sama di AS didominasi oleh berita penolakan Trump menyerahkan alih kekuasaan secara damai andaikan dia kalah dalam pilpres melawan Biden pada 3 November.
"Seorang presiden yang menyembunyikan ketakutan dari warganya sendiri, menolak menerima kemauan rakyat adalah pertanda kelemahan, otokrat tak sah, bukan seorang pemimpin yang kuat," kata Biden.
Trump dan Biden dijadwal bertemu untuk debat pertama mereka pada Selasa. Topiknya antara lain "ras dan kekerasan di kota-kota kita."