REPUBLIKA.CO.ID, Kebangkitan umat Islam pada masa Perang Salib terbukti tidak lepas dari peran seorang ulama bernama Syekh Ali al-Sulami dan Imam Al-Ghazali.
Posisi Al-Ghazali dalam Perang Salib menjadi jelas, setelah diterbitkannya Kitab Al-Jihad karya Ali al-Sulami, imam di masjid Ummayyah Damaskus, dan tokoh perumus serta penggerak jihad melawan tentara Salib. Dalam naskah kitab yang diringkas Niall Christie, al- Sulami banyak mengutip ucapan Imam al- Syafii dan Al-Ghazali tentang jihad.
Diantaranya, Al-Ghazali menyatakan, bahwa jihad adalah fardu kifayah. Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat berjuang keras melawan musuh.
Tetapi, jika kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban jihad itu dibebankan kepada negara terdekat. Penjelasan Al-Ghazali yang dikutip Ali al-Sulami itu menunjukkan, posisi Al-Ghazali dalam soal jihad melawan pasukan Salib sangatlah jelas.
Al-Sulami tidak menyebutkan sumber kutipan ungkapan Al- Ghazali tersebut. Al-Ghazali juga tidak menuliskan kutipan itu dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin. Adalah sangat mungkin bahwa Ali al-Sulami, yang ketika itu menjadi imam di Masjid Umayyad di Damaskus, menghadiri kuliah Al-Ghazali di Masjid tersebut. Dalam Ihya’-nya, Al-Ghazali menjelaskan hampir seluruh aspek kehidupan manusia dalam perspektif Islam.
Ia menulis begitu banyak topik, seperti masalah ilmu, ibadah, etika sosial, hal-hal yang merusak (al-muhlikat), dan juga yang menyelamat kan (al-munjiyat).
Dalam bukunya, Dr Majid Irsan Kailani menjelaskan posisi pemikiran Al-Ghazali dalam perjuangan kaum Muslim untuk merebut kembali Yerusalem. Dengan menganalisis Kitab Ihya’, menurutnya, dapat disimpulkan, buku ini disiapkan Al-Ghazali untuk melakukan reformasi intelektual dan moral kaum Muslim dalam perspektif yang lebih luas dari sekadar masalah Perang Salib ketika itu.
*Naskah cuplikan dari artikel karya Dr Adian Husaini yang tayang di Harian Republika 2011