REPUBLIKA.CO.ID, SALT LAKE CITY – Seorang Muslim, Qasim Rashid yang telah menyelesaikan magang di sebuah firma hukum ketenagakerjaan di Virgina 10 tahun lalu, dia akan ditawari posisi pengacara penuh waktu. Namun, dengan satu syarat, asalkan dia mengurangi berkoar tentang Islamofobia.
Sekarang Rashid menjadi calon Demokrat untuk Distrik Kongres Pertama Virgina. Dia mengatakan insiden itu terjadi pada 2010 di tengah kontroversi Masjid Ground Zero, inisiatif "Hari Membakar Alquran", dan upaya pengeboman Times Square.
"Saya blak-blakan tentang keyakinan saya untuk mengatakan, 'hei kami juga manusia,'. Tampaknya itu membuat beberapa orang tidak nyaman," kata Rashid yang menyuarakan keprihatinannya di sosial media tentang meningkatnya sentimen anti-Islam, dilansir dari Deseret, Selasa (6/10).
Menurut laporan baru, pengalaman Rashid menunjukkan diskriminasi kelembagaan yang dihadapi banyak Muslim Amerika Serikat. Data dari Institute for Social Policy and Understanding menunjukkan Muslim lebih mungkin mengalami diskriminasi agama dibandingkan kelompok agama lain, baik dalam pengaturan kelembagaan maupun antar pribadi.
Survei tersebut mencatat Muslim menghadapi tingkat diskriminasi dalam lembaga lebih tinggi dibandingkan dengan rekan-rekan Yahudi. Di bandara, hampir setengah Muslim (44 persen) mengatakan mereka menghadapi diskriminasi. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan yang dialami oleh orang Yahudi (2 persen) dan kelompok agama lain (5 persen).
Muslim Amerika Serikat juga menghadapi tingkat diskriminasi yang lebih tinggi saat melamar pekerjaan sebanyak 33 persen Muslim, 5 persen Yahudi, dan 8 persen dari kelompok agama lain.
Sedangkan dalam interaksi dengan penegak hukum ada 31 persen Muslim, 2 persen Yahudi, dan 8 persen agama lain. Bahkan ketika menerima layanan perawatan kesehatan pun mengalami diksriminasi, 25 persen Muslim dan 5 persen Yahudi. “Diskriminasi tidak selalu seseorang yang memakai hoodie KKK meneriakkan ejekan kepada Anda, itu bisa jauh lebih halus dan menyeramkan,” ujar Rashid.
Temuan penelitian institut itu adalah bagian dari jajak pendapat tahunan kelima komunitas agama Amerika Serikat yang mensurvei 2.157 orang Amerika Serikat. Mereka terdiri dari Muslim, Yahudi, Katolik, Protestan, Evangelikal kulit putih, atau tidak terafiliasi.
Menurut Direktur Riset lembaga tersebut, Dalia Mogahed, salah satu tujuan penelitian ini agar memberikan wawasan kepada komunitas Muslim dan pembuat kebijakan. Sehingga mereka dapat mengidentifikasi masalah dan secara efektif mengalokasikan sumber daya untuk memerangi diskriminasi sentimen anti-Muslim.
Lebih lanjut, Mogahed menjelaskan diskriminasi institusional disebabkan dari dua hal. Pertama, kebijakan rasis yang melekat atau dari orang yang menjalankan kebijakan netral dengan cara bias rasial.
"Dalam beberapa kasus, bias implisit dapat menjadi manifestasi sebagai Islamofobia institusional. Sementara dalam kasus lain, ‘kekuatan struktural’ ikut andil dalam menargetkan kelompok tertentu," jelas dia.