REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) IPB University berkolaborasi bersama Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) mengadakan diskusi daring melalui acara Obrolin Pangan Goes to Campus bertemakan “Menata Jalan Food System Indonesia”, Rabu (7/10).
Acara ini bertujuan untuk mengajak akademisi bersama masyarakat mendiskusikan isu sistem pangan nasional yang ideal dan berdaulat tanpa timbulnya kerugian di pihak manapun. Harapannya, ditemukan titik terang untuk memperbaiki sistem pangan nasional yang sedang berjalan di masa pandemi ini, terlebih lagi dengan disahkannya Rancangan Undang-undang Cipta Kerja yang mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak.
Hadir sebagai salah satu pembicara utama, Prof Dr Damayanti Buchori. Ia adalah Guru Besar IPB University dari Fakultas Pertanian. Prof Damayanti memaparkan pemikirannya mengenai sistem pangan berdasarkan perspektif agroekologi yang bukan hanya menekankan pada aspek pertanian hijau namun juga sebagai suatu gerakan sosial.
Ia mengatakan bahwa permasalahan sistem pangan di bagian hulu saat ini adalah ketika ketidakpastian dari proses alam berusaha dikontrol oleh sistem manusia. Yang berupa mekanisme industri seperti penggunaan teknologi yang ramah lingkungan atau perubahan tata ruang yang tidak terkontrol, hingga kebijakan yang tidak berpihak pada petani kecil dan gurem. “Intensifikasi pertanian tersebut akan menimbulkan bencana seperti erosi tanah atau efek gas rumah kaca,” kata Prof Damayanti seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Peran dari unsur kelembagaan dalam sistem pangan juga mengambil andil yang besar. Menurutnya, salah satu faktor kunci adalah kelembagaan di tingkat petani seperti kelompok petani atau koperasi. Melalui gerakan sosial berupa collective action, akses terhadap pengetahuan, lahan, kapital, hingga kekuatan bernegosiasi bagi kepentingan petani akan mudah dicapai. Tentunya ada strategi jitu dan ideologi yang diperlukan di dalamnya.
“Bagaimana membangun ideologi itu? Ya dengan melalui pertemuan-pertemuan di kelompok. Itu akan sangat menjadi suatu kekuatan yang penting,” ungkap dosen IPB University dari Departemen Proteksi Tanaman ini.
Ia juga turut mengkritik mengenai implementasi kebijakan tata ruang dan kebijakan yang mengenyampingkan ilmu pengetahuan hingga program pemberdayaan yang tidak memberdayakan. Program tersebut malah akan membuat petani ketergantungan pada sumber-sumber eksternal.
Sistem pertanian tradisional, menurutnya, merupakan sistem pangan ideal yang menjunjung prinsip keberlanjutan. Misalnya melalui sistem bera serta adanya rasa hormat terhadap alam. Ia juga menyebutkan perlunya pengembangan sistem agroekologi yang menghasilkan crop health dengan memperkuat below ground dan above ground diversity serta pengembangan ecological engineering.
“Untuk menjalankan agroekologi itu diperlukan adanya perubahan paradigma. Paradigmanya adalah bagaimana kita melihat konteks lanskap,” ujarnya.
Dalam rangkaian acara tersebut, Dr Bayu Krisnamurti, dosen IPB University dari Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) turut berkomentar. Menurutnya porsi masyarakat dalam sistem pangan lebih besar daripada pemerintah sendiri. Sehingga menggantungkan tangan pada pemerintah bukan merupakan sesuatu hal yang dinilai sangat penting. Yang perlu diperhatikan adalah cara berpikir dan pendekatan non-komoditas.
“Lagi-lagi makanya saya sangat mendukung sekali sistem pangan karena tidak bisa lagi hanya single komoditas, tidak bisa hanya satu aspek saja, semua harus kita sertakan,” tuturnya.
Selain itu, metadata menunjukkan bahwa masih ada ketidakseimbangan dalam pembahasan food system yang melulu mengenai produktivitas. Sehingga pembahasan lain seperti food waste ataupun konsumen dikesampingkan. Adapun ia berharap akan adanya asosisasi konsumen maupun pengembangan sistem pangan yang berkelanjutan agar sistem pangan nasional yang berdaulat dapat tercapai.