Jumat 09 Oct 2020 23:59 WIB

Islam di Kirgizstan, Pernah Ditindas Komunisme Kini Bangkit

Islam Kirgizstan mendapat kebebasan penuh menjalankan syariat Islam.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Islam Kirgizstan mendapat kebebasan penuh menjalankan syariat Islam. Ilustrasi umat Islam.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Islam Kirgizstan mendapat kebebasan penuh menjalankan syariat Islam. Ilustrasi umat Islam.

REPUBLIKA.CO.ID, Islam pertama kali tiba di wilayah suku-suku Kirgiz di Kirgizstan, sekitar abad kedelapan hingga ke-12 Masehi. Kerajaan Islam kemudian berdiri di sana sejak Suku Dzungar berkuasa.

Pemimpin mereka pada abad ke-17 mendirikan Kekhanan Dzungar di negeri Kirgizstan kini. Pada abad ke-18, wilayah tersebut jatuh ke tangan Kekhanan Quqot. Sejak saat itu, masyarakat Kir gizstan, terutama yang menghuni sekitar Lembah Fergana, mulai menerima dakwah Islam.  

Baca Juga

Agama lokal, yakni Tengrisme, pun perlahan-lahan ditinggalkan. Tengrisme dahulu dipeluk penakluk dunia asal Mongol, Genghis Khan (1162-1227). Negeri yang beribu kota di Bishkek itu memiliki total populasi hingga tujuh juta jiwa. Sekitar 80 persen masyarakat setem pat menganut agama Islam, sedangkan 15 persen lainnya merupakan pemeluk Kristen Ortodoks.

Menurut Mukaram Toktogulova dalam artikelnya berjudul "Islam in the Context of Nation- Building in Kyrgyzstan: Reproduced Practices and Con tested Discourses  (2019), Kirgizstan mengalami "kebebasan beragama" setelah lepas dari Uni Soviet pada 31 Agustus 1991.

Ketika masih dikuasai negara adidaya berideologi komunisme itu, masyarakat setempat dilarang menampakkan identitas agamanya di ruang-ruang publik. Sejak 1990-an, mereka dapat dengan leluasa membangun rumah-rumah ibadah, sekolah-sekolah agama, dan berbagai organisasi religius.

Akademisi American University of Central Asia itu mengatakan, proses kebebasan itu pun berlang sung dalam konteks pembangunan bangsa (nation-building). Sebagai contoh, pemerintah setempat tidak hanya menjadikan berbagai hari perayaan keagamaan sebagai hari libur, tetapi juga menyemarakkannya.

Di sana, Orozo Ait (Idul Fitri) dan Kurman Ait (Idul Adha) dirayakan secara besar-besaran dengan dukungan penuh pemerintah. Hal ini semakin menegaskan perbedaan kondisi antara Kirgizstan kini dan ketika masih di bawah rezim Uni Soviet silam.

Toktogulova menjelaskan, hanya terdapat 39 unit masjid di seluruh Kirgizstan saat puluhan tahun dikuasai komunisme. Begitu merdeka pada 1991, jumlah masjid di sana melesat hingga 2.740 unit. Begitu pula dengan organisasi masyarakat (or mas) Islam, yakni sebanyak 67 ormas pada 2013 menjadi 112 ormas pada 2018.

Jumlah madrasah ju ga melonjak hingga 102 unit dengan total murid men capai enam ribu orang. Jamaah ha ji asal Kir giz s tan juga terus meningkat dari tahun ke tahun, yak ni sebanyak 2.150 orang pada 2000 menjadi 3.685 orang dan 4.585 orang pada 2016 dan 2017 lalu.

Konstitusi Kirgizstan tidak menyebutkan Islam sebagai agama negara, tetapi kehidupan ma syarakat setempat sangat kental akan nuansa keislaman. Para tokoh yang pernah menjadi presiden Kirgizstan, semisal Askar Akaev dan Kurmanbek Bakiev, kerap menyitir keutamaan nilai-nilai toleransi dalam Islam. Mereka juga mendorong agar umat Islam setempat, yang mayoritasnya bermazhab Hanafi, terus merawat harmoni antara agama, tradisi, dan budaya.

Bagaimanapun, tak jarang pemerintah terlalu jauh menanggapi ruang privat warganya. Sebagai contoh, mantan presiden Almazbek Atambaev saat masih berkuasa pernah mengeklaim adanya kaitan antara busana hijab dan radikalisme. Pernyataan itu sontak membuat kontroversi di tengah rakyat.

Atambaev juga meminta para ulama Kirgizstan memilih busana lokal daripada pakaian-pakaian jubah khas Arab atau Pakistan. Ia mendorong mereka untuk mengenakan bakai kalpak dan chapan. Bakai kalpak adalah semacam tutup kepala khas Kirgizstan yang biasanya berwarna dominan putih dengan motif-motif tertentu. Adapun chapan merupakan kemeja tradisional yang juga berwarna selaras dengan bakai kalpak.

Para ulama dan tokoh Islam kurang sepakat dengan pandangan yang seolah-olah mempertentangan antara budaya dan agama. Padahal, keduanya dapat selaras dan saling menguatkan. Sebagai contoh, leluhur orang-orang Kirgiz ternyata sudah lama mengenal busana yang menutup aurat (baca: islami). Para perempuan mengenakan elechek, yakni kerudung untuk menutupi seluruh rambut hingga leher. Pada bagian atasnya, ter dapat semacam tutup kepala yang biasanya dihiasi motif-motif floral.  

Untuk saat ini, pemerintah Kirgizstan terus menyokong kemajuan umat Islam, terutama melalui dunia pendidikan. Komisi Urusan Agama Kirgizstan bekerja sama dengan organisasi-organisasi ulama dan pakar pendidikan telah mengembangkan tiga proyek reformasi pendidikan: Onoguu Konseptsiasy atau Konsep Baru Pendidikan, standardisasi kurikulum madrasah, serta kursus-kursus keagamaan.   

Kerja sama ini didasari semangat untuk membekali generasi muda Muslim Kirgizstan dengan pengetahuan agama yang benar. Majelis ulama setempat meyakini, paham radikalisme dan ekstremisme tidak akan menjangkiti mereka sela ma ilmu-ilmu agama diajarkan dengan benar oleh tenaga pengajar yang tepat pula. Kalangan ulama juga menyambut baik keinginan pemerintah setempat untuk mereformasi madrasah tradisional. Dengan begitu, murid-murid tidak hanya menerima matapelajaran agama seperti tadarus Alquran, hadits, ilmu nahwu, sharaf, akidah-akhlak, tetapi juga ilmu-ilmu umum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement