Senin 12 Oct 2020 13:32 WIB

Keutamaan Qana’ah dan Kaya Hati

Qana'ah dan kaya hati memiliki keutamaan.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Muhammad Hafil
Keutamaan Qana’ah dan Kaya Hati. Foto: Ilustrasi ibadah di rumah.
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika
Keutamaan Qana’ah dan Kaya Hati. Foto: Ilustrasi ibadah di rumah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam islam, sikap qana’ah atau merasa sangat cukup dengan segala hal yang dimiliki sangat dianjurkan. Hal itu ditegaskan dalam beberapa hadits, seperti yang tercantum dalam buku Shahih Fadhail A’mal oleh Syaikh Ali bin Muhammad Al-Maghribi.

Al-Bukhari rahimahullah no. 6446, meriwayatkan : Dari Abu Hurairah, dari Rasul SAW, beliau bersabda:  “Bukanlah kaya itu karena banyak harta benda, tetapi kaya itu adalah kaya hati.” Shahih.

Baca Juga

HR Muslim no. 1051 At-Tirmidzi no. 2374 Ibnu Majah no. 4137 dan Ahmad (2/243, 261, 315, 390, 438, 540) kata Al- Ardhu berarti : kekayaan dan semua apa yang mencakup harta dan lainnya.

Al-Hafizh dalam Fath Al-Bari (11/277), berkata : “Ibnu Bathathal berkata : ‘Makna hadits adalah hakikat kaya bukanlah banyaknya harta, karena banyak dari orang yang dilapangkan hartanya oleh Allah, masih tidak puas dengan apa yang telah diberikan. Dia tetap giat mencari tambahan dan tidak peduli dari mana dia mendapatkannya, seolah-olah dia orang fakir karena sangat bernafsunya. Tapi, hakikatnya kaya sebenarnya adalah kaya hati, yaitu orang yang sudah merasa cukup dengan apa yang diberikan. Dia puas dan ridha dengannya serta tidak lagi bernafsu untuk mencari tambahan dan terlalu memburunya solah-olah dia orang yang kaya.”

Sementara Al-Qurthubi berkata : “Makna hadits adalah kekayaan yang bermanfaat, yang besar atau yang terpuji adalah kekayaan hati…dst.” Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa (18/329), berkata : “Orang yang kaya hatinya adalah orang yang tidak mencari kemuliaan pada makhluk. Karena orang merdeka itu dianggap budak selagi berambisi (tamak), dan budak itu dinyatakan merdeka selagi sudah puas (qana’ah). Sungguh dikatakan : “Kuturuti keinginan-keinginanku, sehingga dia memperbudakku.” Maka dia benci untuk mengikuti nafsunya, selagi nafsu itu terasa mulia agar tidak bercokol dalam hati kefakiran dan ketamakan kepada makhluk. Hal itu kontrandiksi dengan tawakal (berserah diri) yang diperintahkan, dan kontradiksi dengan kaya hati.

Muslim rahimahullah no. 1.052, meriwatyakan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Rasullah SAW bersabda : “beruntunglah orang yang masuk islam, diberi rizki yang secukupnya, dan Allah membuatnya puas (qana’ah) terhadap apa yang telah Dia berikan kepadanya.”  HR At-Tirmidzi no. 2348, Ibnu Majah no.4138, dan Ahmad (2/168,173).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement