REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam surah al-Kautsar, Allah SWT memerintahkan orang beriman untuk berkurban. Ibadah kurban berarti menyembelih hewan kurban dengan menyebut asma Allah Ta’ala. Adapun daging kurban itu dibagi-bagikan kepada fakir miskin serta orang-orang yang membutuhkan. Pengamal ibadah tersebut tidak mengharapkan selain ridha Illahi.
Menurut ajaran Islam, kurban telah dicontohkan bahkan sejak zaman sebelum Nabi Muhammad SAW lahir. Adalah Nabi Ibrahim AS yang memberikan teladan tentang bagaimana kurban harus dilakukan. Ketika Allah memerintahkannya untuk menyembelih putranya, Ismail AS, maka perintah itu dilakukan sepenuh hati. Kerelaan beliau sudah teruji. Begitu pun dengan Nabi Ismail.
Allah pun berkehendak, Ismail yang akan disembelih, terganti tiba-tiba dengan seekor kambing. Itulah awal mula disyariatkannya ibadah kurban bagi umat Islam.
Keikhlasan
Teladan Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS itu mengajarkan kepada kita tentang makna ikhlas. Kedua utusan Allah SWT itu menunjukkan bahwa segalanya adalah milik-Nya. Semua itu adalah amanah, yang kepada-Nya jua akan kembali.
Islam mengajarkan umatnya agar berjiwa rela berkurban apa saja demi bertakwa kepada Allah Ta’ala. Maka, ibadah yang berlangsung kala Idul Adha ini hendaknya dipahami sebagai ajang melatih keikhlasan diri. Tentunya, kualitas demikian tak cukup dengan simbolisme belaka, semisal menyembelih hewan kurban, apalagi dengan kehendak riya di hadapan manusia.
Kata ikhlas berakar dari khalasha yang berarti ‘jernih’, ‘bersih’, atau ‘murni.’ Dalam konteks amal ibadah, seorang yang ikhlas (mukhlis) adalah orang yang beramal saleh hanya karena Allah SWT semata. Harapannya ialah meraih ridha-Nya, bukan yang lain.
View this post on Instagram