Ahad 18 Oct 2020 17:10 WIB

Pandemi dan Brexit, Moody's Turunkan Peringkat Utang Inggris

Inggris mengalami kontraksi ekonomi paling dalam di antara negara G7.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Para pekerja mengganti papan nama Les Miserables di teater Sondheim di London, Inggris, 12 Oktober 2020. Lembaga pemeringkat Moody’s menurunkan peringkat utang Inggris pada Jumat (16/10).
Foto: EPA-EFE/FACUNDO ARRIZABALAGA
Para pekerja mengganti papan nama Les Miserables di teater Sondheim di London, Inggris, 12 Oktober 2020. Lembaga pemeringkat Moody’s menurunkan peringkat utang Inggris pada Jumat (16/10).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Lembaga pemeringkat Moody’s menurunkan peringkat utang Inggris pada Jumat (16/10). Keputusan ini diambil karena pukulan ekonomi yang besar dari krisis pandemi Covid-19, Brexit dan rencana anggaran yang tidak jelas dari pemerintahan Perdana Menteri Boris Johnson.

Seperti dilansir Reuters, Sabtu (17/10), Moody’s menurunkan rating utang Inggris dari Aa2 menjadi Aa3 dengan prospek stabil. Saat ini, Inggris berada di posisi yang sejajar dengan Belgia dan Republik Ceko.

Baca Juga

Penurunan peringkat tersebut membuat pandangan Moody’s satu tingkat dengan Fitch. Sementara itu, Standard & Poor’s memberikan peringkat ke Inggris satu tingkat lebih tinggi.

Moody’s mengatakan, pertumbuhan Inggris secara konsisten terus melemah dari yang diproyeksikan. "Kemungkinan akan tetap demikian di masa depan," tulis lembaga pemeringkat yang berbasis di New York itu.

Perekonomian terbesar keenam di dunia tersebut mengalami kontraksi paling dalam dibandingkan negara G7 lain pada kuartal kedua. Utang publiknya telah mencapai 2 triliun pound atau 2,6 triliun dolar AS, melampaui 100 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Inggris juga tercatat menghadapi kontraksi hingga ke titik terdalam yang lebih tajam dibandingkan ekonomi G20 lain karena parahnya wabah Covid-19. Aturan jarak sosial yang menghambat aktivitas ekonomi dan jasa serta risiko wabah lebih lanjut memperparah kondisi Inggris.

Penurunan peringkat utang ini menjadi pukulan berikutnya bagi Johnson yang mendapat kecaman dari partai-partai oposisi dan anggota parlemen di Partai Konservatif-nya. Mereka menilai, pemerintah terlalu lemah dalam penanganan pandemi yang telah menewaskan lebih banyak orang di Inggris daripada di mana pun di Eropa.

Moody’s menyebutkan, kegagalan Inggris untuk mencapai kesepakatan perdagangan yang luas dengan Uni Eropa akan menambah kerusakan ekonomi akibat pandemi. Pada Jumat, Johnson mengatakan, saat ini tidak ada gunanya melanjutkan negosiasi perdagangan.

"Bahkan, jika ada kesepakatan perdagangan antara Inggris dengan UE pada akhir 2020, kemungkinan besar dampaknya akan sempit," kata Moody’s.

Moody’s juga mengatakan, Inggris telah kehilangan disiplin anggaran dan tingkat utangnya yang tinggi tidak mungkin turun dengan cepat. Secara efektif, Inggris tidak memiliki jangkar kebijakan fiskal yang kuat, menurutnya. Pemotongan pengeluaran kemungkinan akan sulit dilakukan secara politis dan kenaikan pajak dapat menghambat pemulihan ekonomi.

Pemerintah Inggris menyebutkan, mereka tidak punya pilihan selain meningkatkan pengeluaran untuk mengurangi dampak pandemi. "Seiring waktu dan ekonomi mulai memulih, pemerintah akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan kesehatan keuangan publik dalam jangka panjang," kata juru bicara Kementerian Keuangan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement