Senin 26 Oct 2020 12:04 WIB

Epidemiolog Kritik Penetapan Zona Covid yang Menyesatkan

Perbedaan analisa pusat dan daerah sebabkan perubahan zona menyesatkan.

Rep: Febrian Fachri/ Red: Indira Rezkisari
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Padang Defriman Djafri mengkritik penetapan zona Covid-19 sebagai sesuatu yang menyesatkan.
Foto: Republika/Febrian Fachri
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Padang Defriman Djafri mengkritik penetapan zona Covid-19 sebagai sesuatu yang menyesatkan.

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Epidemiolog Universitas Andalas Defriman Djafri mengkritik penetapan zona Covid-19 sebagai sesuatu yang menyesatkan. Alasannya, landasan yang digunakan untuk menetapkan status sebuah daerah tidak memenuhi indikator yang benar.

WHO, menurut Defriman, juga tidak menetapkan istilah pembagian zona. WHO hanya menekankan tiga parameter kunci dalam pengendalian pandemi Covid-19, yakni kajian epidemiologi, surveilans kesehatan masyarakat dan sistem kesehatan.

Baca Juga

Sementara di Indonesia, membagi-bagi daerah berdasarkan zona yang justru menjadi salah kaprah bagi kepala daerah. Defriman mencontohkan bila suatu daerah dikatakan sudah kembali masuk ke dalam zona hijau, kepala daerah menganggap hal itu sebagai sebuah prestasi. Padahal menurut dia perubahan zona sangat dinamis.

Daerah yang baru dikatakan masuk zona hijau dalam beberapa pekan bisa saja berubah menjadi zona oranye atau bahkan zona merah. "Zona ibarat false positive atau false negative. Kalau pendapat saya, zona itu menyesatkan," kata Defriman kepada Republika, Senin (26/10).

Defriman menyoroti adanya perbedaan analisis antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Kemarin, Pemprov Sumbar mengklaim tidak ada lagi zona merah. Kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman yang sebelumnya kategori zona merah kini sudah zona oranye.

Sementara dalam rilis situs covid-19.go.id, Kota Padang masih masuk kategori zona merah. "Pernah terjadi, pemerintah menghijaukan zona. Itu membuat kecenderungan kepala daerah menganggap sebuah prestasi dalam pengendalian, padahal ini sangat dinamis sekali, sekarang hijau hanya 2 minggu, bisa saja selanjutnya bertahan 3 bulan kedepan di zona merah, itu yang terjadi," ucap Defriman.

Harusnya menurut Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas ini, pemerintah fokus pada upaya pemutusan mata rantai penularan. Di Sumbar kasus positif Covid-19 sudah 12.786 orang. Kemarin di Sumbar ada penambahan 359 dinyatakan positif Covid-19.

Berdasarkan data nasional yang dirilis Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Sumbar menempati posisi kedua kasus harian terbanyak. DKI Jakarta masih menjadi penyumbang tertinggi Covid-19 meskipun jumlahnya semakin berkurang.

Ia melihat penetapan zona untuk suatu daerah masih dengan cara hanya melihat data kasus. Harusnya penetapan zona juga memperhatikan kondisi di daerah tersebut. Karena bisa saja di sebuah daerah catatan kasus masih rendah, tapi ternyata mereka memiliki kasus-kasus yang tidak terdeteksi. Sehingga penularan terus terjadi.

Ia menduga melonjaknya angka kasus positif Covid-19 di Sumbar dalam dua bulan terakhir merupakan karena sebelumnya ada keterlambatan deteksi. "Testing yang masif belum tentu dapat dikatakan terkendali. Jangan-jangan yang terdeteksi saat ini adalah kasus-kasus lama yang penularannya sudah luas," kata Defriman menambahkan.

Alumnus Harvard School of Public Health Harvard University itu menilai ada yang luput dalam penetapan status suatu daerah. Yaitu bagaimana mobilitas orang dan kondisi wilayah di sekitar daerah administratif tersebut. Karena daerah yang mengalami banyak keluar masuk orang juga mempengaruhi kondisi Covid di daerah itu. Tingginya arus masuk dan keluar akan mempersulit upaya mengontrol kasus impor.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement