Rabu 11 Nov 2020 17:36 WIB

Hiasi Diri dengan Malu, Berarti Anda Benar-Benar Hidup

Sifat malu merupakan salah satu sifat terpuji dalam Islam

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Nashih Nashrullah
Sifat malu merupakan salah satu sifat terpuji dalam Islam Ilustrasi Muslimah
Foto: Pixabay
Sifat malu merupakan salah satu sifat terpuji dalam Islam Ilustrasi Muslimah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sifat malu termasuk akhlak mulia yang harus dimiliki setiap Muslim. Rasa malu juga menjadi ciri khas Islam.

Dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan, Rasulullah SAW menegaskan pentingnya sifat malu. 

Baca Juga

 إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ “Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu.” (HR Ibnu Majah (4181, 4182 bab Az-Zuhd).

Hadits tersebut bermakna rasa malu sebagai penyempurna akhlak umat Islam. Hal ini mengacu dari tujuan diutusnya Rasulullah SAW untuk menyempurnakan akhlak. 

Dijelaskan dalam buku Ensiklopedi Akhlak Rasulullah Jilid 2 oleh Syekh Muhammad Al-Mishri, Ibnul Qayyim mengatakan kata al-haya’u berarti ‘malu’ diambil dari kata al-hayah, yakni kehidupan. 

Hal tersebut bermakna sejauh mana hati itu hidup, sejauh itu pula kekuatan malu berdiam di hati. Kurangnya rasa malu adalah tanda-tanda matinya hati dan ruh. Setiap kali hati menjadi lebih hidup, di saat itu pula rasa malu akan menjadi lebih sempurna.

Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah, ia menuturkan seorang wanita bertanya kepada Rasulullah, bagaimana cara bersuci dari haid. 

 أنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عن غُسْلِهَا مِنَ المَحِيضِ، فأمَرَهَا كيفَ تَغْتَسِلُ، قالَ: خُذِي فِرْصَةً مِن مَسْكٍ، فَتَطَهَّرِي بهَا قالَتْ: كيفَ أتَطَهَّرُ؟ قالَ: تَطَهَّرِي بهَا، قالَتْ: كيفَ؟ قالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ، تَطَهَّرِي فَاجْتَبَذْتُهَا إلَيَّ، فَقُلتُ: تَتَبَّعِي بهَا أثَرَ الدَّمِ

Rasulullah pun mengajarkan caranya bersuci. Rasulullah menyuruh ia untuk mengambil minyak wangi dengan sedikit kapas agar ia bersuci dengannya. Wanita itu pun berkata, “Bagaimana cara saya bersuci dengan kapas ini?”. Rasulullah kemudian menutup wajahnya dengan tangannya. Lalu Aisyah menarik wanita itu supaya mendekat kepadanya karena ia mengetahui apa yang diinginkan Rasulullah. Aisyah berkata kepada wanita itu, “Oleskan kapas itu pada bekas darah haidmu,” (HR Al-Bukhari 314 bab Al-Haidh dan Muslim 332 bab Al-Haidh).

Gambaran rasa malu Rasulullah juga ada pada hadits lain. Diriwayatkan Abu Malik bin Sha’sha’ah, hadits ini menjelaskan bagaimana beliau harus pergi bolak-balik antara Allah SWT dan Nabi Musa AS untuk memohon keringanan jumlah sholat kepada Allah sehingga menjadi lima waktu. 

Nabi Musa tetap saja menyuruh beliau meminta keringanan, beliau berkata, “Kembalilah kepada Tuhanmu, dan mohonlah agar Dia menambahkan keringanan untuk umatmu.” 

 ‏‏ قد راجعت ربي وسألته ، حتى استحييت منه ، فما أنا بفاعل Rasulullah SAW bersabda, “Aku sudah berkali-kali memohon keringanan kepada Tuhanku sampai aku merasa malu. Namun, untuk kali ini aku rela menerima keputusannya.” (HR Bukhari 3778 bab Al-Manaqib dan Muslim 162 bab Al-Iman). 

Sedangkan hadits lain mengatakan rasa malu adalah bagian dari keimanan yaitu sebagai berikut: 

الحياء من الإيمان , والإيمان في الجنة , والبذاء من الجفاء والجفاء في النار “Rasa malu adalah bagian dari keimanan dan keimanan tempatnya di surga. Ucapan cabul adalah bagian dari sikap kasar dan sikap kasar tempatnya di neraka,” (HR At-Tirmidzi 2009 Kitab Al-Birr wa Ash-Shilah dan Ahmad 10134). 

Rasulullah juga bersabda  seperti yang tercantum dalam Shahih Al-Bukhari tentang urgensi rasa malu:

الإيمان بضع وستون شعبة والحياء شعبة من الإيمان   “Keimanan itu memiliki enam puluh cabang. Rasa malu adalah salah satu cabangnya.” (HR Bukhari 9, bab Al-Iman).  

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement