REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Bagi Peter Susilo, perkawinan tidak hanya menjadikannya berperan baru sebagai suami. Lebih dari itu, hidayah Allah SWT menyinari hatinya sejak dirinya menikah.
Sebelum menjadi seorang Muslim, pria 38 tahun itu menganggap agama hanyalah sebuah identitas yang melekat pada diri seseorang. Ia pun pernah beberapa kali berpindah iman, dari satu agama ke agama lainnya. Hal itu dilakukannya sebelum menemukan cahaya Islam.
Sewaktu duduk di bangku SMA, lelaki yang lahir dan tumbuh besar di Bukittinggi, Sumatra Barat, itu tertarik dengan seorang gadis. Ber be da dengannya, perempuan itu me me luk Islam. Bahkan, gadis puja an nya itu termasuk Muslimah yang taat.
Sebagai Muslim, Peter tentu saja harus menjalankan berbagai ibadah wajib yang telah disyariatkan. Di antaranya adalah sholat lima waktu dalam sehari, berpuasa pada bulan suci Ramadhan, dan menunaikan zakat. Semua itu membutuhkan ilmu dan kemampuan. Sholat, misalnya, tidak mungkin dilakukan tanpa mampu menghafalkan surat al-Fatihah.
Dengan dukungan istrinya, Peter berusaha untuk bertanggung jawab atas pilihannya. Alhasil, dia mempelajari berbagai aspek dalam Islam. Ia belajar membaca Alquran, berpuasa, dan sebagainya. Lama-kelamaan, semua yang dilakukannya itu menumbuhkan komitmen besar dalam dirinya; tekad untuk terus mendalami agama ini. Tidak sekadar ikut-ikutan menjadi Muslim.
Ramadhan 2012 menjadi momentum baginya. Mulai saat itu, dirinya lebih tekun dalam belajar sholat, puasa, dan zakat. Waktu itu, ia sempat merasa kesulitan untuk membaca Alquran. Sebab, bahasa Arab begitu sukar untuk dilafalkan atau dibaca aksaranya. Betapapun demikian, Peter tetap sabar dan terus berupaya.
Begitu pula dengan berpuasa. Ibadah ini ternyata membutuhkan tekad kuat agar dapat ditunaikan secara sempurna. Namun, Peter tak pernah merasa terbebani. Ia justru menyambut gembira satu bulan penuh Ramadhan. Pada malam hari, ia dan istrinya menunaikan sholat tarawih berjamaah, lalu tadarus Alquran. Pada dini hari menjelang subuh, saatnya sahur sebagai bekal menjalani puasa sehari penuh.
Suatu hari, Peter mengikuti sebuah pengajian yang disiarkan via radio. Tiba-tiba, ia merasa tersadar. Mubaligh yang mengisi kajian itu menerangkan kepada para pendengar tentang hikmah kehidupan.
Pada faktanya, hidup hanyalah sementara. Yang pasti adalah kematian. Karena itu, boleh jadi ibadah yang dilakukan pada hari ini justru merupakan yang terakhir kalinya.
Sholat subuh, misalnya. Mungkin pagi tadi sudah sholat, tetapi apakah besok atau hari yang akan da tang (bisa sholat subuh)? Belum tentu. Jangan-jangan usia ini tidak sampai di subuh esok harinya, kata Peter menirukan ceramah ustaz ter sebut.
Tausiyah tersebut begitu menancap dalam benaknya. Sejak saat itu, dirinya menjadi lebih tekun dalam mendalami Islam. Komitmennya sebagai Muslim untuk terus menjadi hamba Allah yang bertakwa semakin menguat. Ia meyakini dengan sepenuh hati bahwa Islam adalah agama yang benar, pilihannya tepat untuk memeluk agama Allah.