REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ali Trigiyatno, Dosen Pascasarjana IAIN Pekalongan, Waket PDM Batang, Jawa Tengah
JAKARTA -- “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar),” (Qs al-Rum [30]: 41).
Pernyataan ayat tersebut di atas terjadi sudah. Jika pada saat turunnya ayat tersebut Allah SwT menyatakan telah tampak kerusakan di darat dan lautan, apalagi pada masa sekarang. Kerusakan alam, lingkungan, bumi, laut, dan udara membentang di hadapan kita semua.
Kerusakan dimaksud tentu bukan hanya kerusakan fisik semata, namun juga kerusakan moral dan akhlak di tengah masyarakat ditandai dengan semakin jauhnya orang dari pengamalan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Sementara hal-hal yang berbau maksiat dan munkarat semakin mudah ditemukan di sekeliling kita.
Akibatnya bisa ditebak, manusia yang berulah harus menuai akibatnya. Celakanya, akibat tindakan kerusakan sekelompok orang, akibatnya dirasakan juga oleh mereka yang tidak melakukan kerusakan.
Fasad, sebagai kata kunci dalam tulisan ini, berasal dari fasada-yafsidu/yafsudu-fasdan/fasâdan/fusûdan. Fasad berkebalikan dengan shalâh, sehingga mafsadat adalah kebalikan dari mashlahah. Fasâd juga bisa bermakna hilang (rusak)-nya gambaran dari sesuatu ketika fasâd itu terjadi. Menurut al-Qurthubi, fasad berarti penyimpangan dari kelurusan atau kestabilan, yakni menjadi tidak stabil dan rusak.
Dalam Alquran, Allah SwT menggunakan kata yang berasal dari akar kata fa-sa-da sebanyak 49 kali di 46 ayat. Di antaranya kata mufsidûn atau mufsidîn, yang dinyatakan tidak kurang di 20 tempat. Menurut as-Suddi, dalam kitab tafsirnya, al-fasad berarti kufur dan melakukan kemaksiatan.
Menurut Ibnu al-Jauzi dalam tafsirnya, Zadul Masir, dalam frase telah tampak kerusakan (al–fasad) di darat dan lautan, sekurangnya terdapat empat penjelasan: berkurangnya keberkahan, merajalelanya kemaksiatan, syirik, dan kekeringan atau kemarau panjang.
Menariknya, ketika al-Qurthubi menjelaskan frase la tufsidu fi al-ardh dalam al-Baqarah: 12, beliau menyatakan, “Janganlah kalian berbuat kerusakan dengan melakukan kekufuran, menjadikan orang kafir sebagai wali/pelindung dan teman dekat, serta memisahkan manusia dari keimanan terhadap kenabian Muhammad saw. dan keimanan kepada Al-Qur’an.” Senada dengan itu, al-Syaukani menyatakan, “Janganlah kalian berbuat kerusakan dengan melakukan kemunafikan, berwali kepada orang kafir, dan memisahkan manusia dari keimanan.”
https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/11/28/larangan-berbuat-kerusakan/