REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pemerintah Iran meminta komunitas internasional untuk merespons dengan menyatakan kutukan terhadap "terorisme" pembunuhan ilmuwan nuklir negara itu, Mohsen Fakhrizadeh, yang terjadi pekan lalu.
"Rakyat Iran berharap komunitas internasional dan negara-negara pembela hak asasi manusia untuk mengutuk terorisme negara dan membangun konsensus agar melawan ketegangan di kawasan," tulis Kedutaan Besar Iran di Jakarta dalam pernyataan pers, Kamis (3/12).
"Iran menyerukan kepada dunia internasional, khususnya Uni Eropa, untuk meninggalkan standar ganda dan mengutuk tindakan terorisme yang berbasis negara ini," tulis Kedubes Iran menambahkan.
Fakhrizadeh, yang menjabat Kepala Organisasi Penelitian dan Inovasi di Kementerian Pertahanan Republik Islam Iran, ditembak ketika ia berada di dalam mobilnya, di dekat Ibu Kota Teheran, pada Jumat, 27 November 2020.
Iran menyebut pembunuhan tersebut sebagai "tindakan pengecut dan pembunuhan negara", serta menuding Israel yang menjadi dalang di balik peristiwa ini dan mengaitkannya pada upaya untuk "memicu kekacauan di wilayah Timur Tengah" melalui gangguan terhadap perjanjian nuklir Iran.
Di bawah perjanjian nuklir Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang ditandatangani oleh Iran dan kekuatan dunia pada 2015, Iran harus membatasi pengayaan uranium miliknya sebagai ganti atas pencabutan sanksi atas Iran. Namun pada 2018, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump hengkang dari kesepakatan tersebut serta memilih menjatuhkan kembali sanksi kepada Iran, yang kemudian memicu krisis ekonomi di negara itu.
Iran disebut beberapa kali pula melanggar perjanjian, tetapi Teheran mengatakan bahwa pihaknya selalu tunduk kepada JCPOA, dengan merujuk pada pernyataan dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) sebagai pengawas program nuklir Iran.
"Program nuklir damai Iran tetap tunduk pada kerangka inspeksi internasional yang 'paling kuat' dalam sejarah IAEA," tulis Kedubes Iran dalam keterangan pers yang sama.