REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Ibukota memaparkan bahwa pandemi Covid-19 tidak memiliki pengaruh besar terhadap kualitas udara di DKI Jakarta. Rata-rata tahunan partikulat lebih kecil dari 2,5 mikrometer (PM 2.5) masih melebihi ambang batas baku mutu udara ambien nasional.
Menurut Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpece Indonesia Bondan Andriyanu, sebelumnya Jakarta berada di peringkat kelima untuk Ibu Kota dengan kualitas udara terburuk menurut laporan IQAir (AirVisual) yang diluncurkan pada Februari 2020. Ia berpendapat, pada 2020 ini sebenarnya status DKI sama dengan 2019.
"Udara Jakarta tercermar," kata Bondan dalam acara virtual yang diikuti Greenpeace Indonesia, LBH Jakarta, dan Indonesia Center fot Environmental Law (ICEL) dalam acara virtual di Jakarta, Senin.
Dari data riset yang dilakukan Greenpeace Indonesia ditemukan dalam periode Januari hingga 12 Desember 2020, ketika pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berlaku, kualitas udara Ibu Kota masih dalam kategori sedang hingga tidak sehat untuk kelompok sensitif. Bondan memaparkan bahwa dari data tersebut ditemukan bahwa pada sepanjang 2020 terdapat 11 hari dengan kategori udara sehat yang terdeteksi di dua stasiun pemantauan kualitas udara di Jakarta Pusat dan Selatan.
Selain itu, terdapat 13 hari di mana rata-rata harian konsentrasi PM 2.5 melebihi ambang batas nasional pada Juni-Agustus 2020. Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No.41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara menetapkan bahwa baku mutu PM 2.5 tahunan pada 15 mikrogram (mkg) per meter kubik udara.
"Data dari Jakarta Pusat selama Januari sampai 12 Desember rata-rata tahunan (PM 2.5) itu 35, di Jakarta Selatan rata-rata tahunannya 43. Kalau kita mengacu baku mutu nasional PM 2.5, yaitu 15 mikro, artinya ini sudah melebihi baku mutu," katanya.
Dalam kesempatan tersebut, peneliti dari Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan ICEL Bella Nathania mengungkapkan bahwa kebijakan PSBB ditujukan untuk membatasi aktivitas publik dan menekan kemungkinan penyebaran Covid-19, bukan memperbaiki kualitas udara. Bella menyoroti bahwa langkah nyata untuk memperbaiki kualitas udara belum terlalu terasa nyata.
Bella lantas mengungkapkan bahwa masih belum dilakukan perubahan terhadap PP No.41/1999, yang sudah berusia 20 tahun lebih. PP No. 41/1999 sebetulnya telah dimasukkan ke dalam Program Penyusunan Peraturan Pemerintah pada 2020.
"Saat ini, prosesnya sedang memasuki tahap pembahasan antar kementerian. Tetapi kemungkinan akan kembali diundur pengundangannya karena perubahan PP No. 41/1999 masuk ke dalam substansi peraturan pelaksana UU Cipta Kerja di bidang lingkungan hidup," ujarnya.