REPUBLIKA.CO.ID, GRESIK -- Munas Tarjih ke-31 Muhammadiyah resmi ditutup. Agenda yang berlangsung secara daring dan luring terbatas ini telah mengkaji masalah-masalah sosial kemasyarakatan maupun masalah ibadah.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Prof Syamsul Anwar mengatakan, bahasan meliputi fikih zakat kontemporer, difabel, agraria, masalah terminasi hidup, perawatan paliatif dan penyantunan kaum senior.
Sedangkan, masalah ibadah membahas pengembangan HPT meliputi puasa tiga hari 14, 15, 16 setiap bulan kamariyah sebagai bagian puasa tatawwuk. Lalu, sujud sahwi, shalat sunat sesudah wudhu dan shalat istisqa.
Dibahas pula shalat jenazah secara gaib, shalat jamak antara Jumat dan Ashar, termasuk penentuan ulang masuknya fajar memulai puasa dan Subuh. Terakhir, dibahas pula materi-materi perumusan tuntunan ahlak filosotif.
Syamsul berharap, Munas Tarjih ini diharapkan mengokohkan gerak dakwah amar maruf nahi mungkar Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang berorientasi tajdid. Baik bagi warga Muhammadiyah maupun Muslim umumnya.
"Semoga dapat memberi tuntunan jalani kehidupan sosial yang harmonis dan jadi landasan bagi pembangunan masyarakat kita dalam menghadapi berbagai masalah, tantangan serta peluang yang ada," kata Syamsul, Ahad (20/12).
Muhammadiyah turut membahas terminasi hidup, perawatan paliatif dan kaum senior. Tindak lanjut Muhamamdiyah dalam Deklarasi Vatikan 2019 yang sepakati itu bertentangan ajaran agama dan tidak dibenarkan etika.
Putusan ini ingin memberikan bimbingan hidup seberat apapun dalam pandangan Islam tetap memiliki arti. Sebab, hidup merupakan anugerah Ilahi, dan tidak dapat diakhiri dengan sengaja atas alasan apapun.
Untuk kurangi kemungkinan permintaan terminasi hidup, perlu dikembangkan konsep perawatan paliatif dan kaum senior efektif. Tidak hanya berwujud pemberian tindakan teknis medikasi, mencakup peningkatan kualitas hidup.
Harus pula ada upaya-upaya pemberian dukungan moril, psiko-sosiologis, spiritual dan finansial kepada pasien, khususnya dengan penyakit berat dan terminal. Serta, kepada keluarga yang menghadapi musibah tersebut.
Perlu maksimalisasi pelayanan kaum lansia, khususnya yang rentan karena faktor usia hilangkan sejumlah kemampuan fisik dan mental. Jadi, mereka menjalani hidup tetap mulia dan bermartabat sebagai pengamalan hadis.
"Perlu promosikan masyarakat perawat dan penyantun, wajibkan penyembuhan penyembuhan maksimal, perawatan komprehensif dan penyantunan manusiawi sebagai perwujudan tanggung jawab etis inheren dalam jati diri manusia dan penanda masyarakat Islam yang sebenar-benarnya," ujar Syamsul.
Terkait Fikih Difabel, Muhammadiyah berharap itu bisa jadi landasan dan penghormatan kepada kaum difabel. Yang mana, jadi bagian dari masyarakat yang memiliki hak-hak yang sama sesuai Fikih Al Maun dalam Muhammadiyah.
Selain itu, ijtihad ulang waktu subuh menjadi pembahasan penting dalam Munas Tarjih ke-31 Muhammadiyah. Menurut Syamsul, setelah lewati debat panjang dan menegangkan, Munas Tarjih Muhammadiyah sepakati 18 derajat.
Putusan tentang akhlak dimaksudkan memberi penekanan soal spiritualitas berbasis aktifisme dan etika, tanpa menafikan etika niat. Pembinaan akhlak dipandang sangat penting tidak saja sebagai karakter personal.
Tapi, kata Syamsul, sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara untuk membawa bangsa benar-benar menjadi bangsa berkeadaban. Sekaligus, jadi bangsa yang menghargai arti keadilan dalam kehidupan.
"Semangat seluruh proses Munas ini sangat menekankan peran negara yang aktif dan arif sebagai garda depan penyelesai masalah sosial masyarakat seperti direspon dalam putusan-putusan Munas Tarjih ini," kata Syamsul.
Ia menekankan, dalam persidangan ulama, cendekiawan dan pemuka melakukan pemikiran mendalam agar bisa negosiasikan teks dan konteks. Dinamika dan dialektika keduanya hasilkan putusan-putusan yang diharap mencerahkan.
Proses Tarjih, lanjut Syasul, di sisi kajian akademik dapat menegasikan pandangan-pandangan tidak seimbang dalam memahami Islam. Terutama, dari pandangan orientalime klasik lewat idealisme abstrak yang fokus ke teks.
Pandangan orientalis melihat hukum Islam sebagai hukum idealistik yang tidak bersentuhan kehidupan sehari-hari. Rekaan fukaha yang terasing dari kebutuhan praktis dan kenyataan, serta bertolak belakang realitas.
Namun, pemahaman Islam tidak dapat dicukupi sosio-antropolog ansich yang reduktif, melihat agama fenomena sosial belaka. Bahkan, tercerabut dari inti yang memberikan ciri esensial yaitu teks sebagai sumber gagasan.
"Dalam Tarjih, dinamika dan dialektika teks dan konteks, sebagaimana terlihat dalam dinamika proses persidangan Munas Tarjih, jadi bagian esensial dalam suatu manhaj ijtihad," ujar Syamsul.