Oleh : Ridwan Thalib, Pengacara
REPUBLIKA.CO.ID --- Dunia peradilan kembali menjadi perhatian karena terbitnya Perma No.5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan (Perma No. 5/2020). Banyak kritik dilayangkan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) tanpa melihat latar belakang, alasan logis serta manfaat dari Perma ini.
Kritik serta serangan kepada MARI hanya difokuskan pada satu aspek yaitu Pasal 4 ayat 6 Perma tersebut yang berbunyi: “Pengambilan Foto, Rekaman Audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya persidangan”.
Berangkat dari ketentuan itu, jelas Perma No. 5/2020 tidak ditujukan untuk melarang media atau publik untuk melakukan dokumentasi atas jalannya persidangan. Pasal 4 ayat 6 hanya memberikan kewenangan kepada Ketua Majelis Hakim pemeriksa perkara untuk dapat mengizinkan atau melarang diambilnya rekaman video atau audio terhadap jalannya suatu perkara/persidangan.
Terdapat prasangka buruk dari LSM atau bahkan DPR yang melakukan kritik berlebihan terhadap MARI atas terbitnya Perma ini. Serangan kepada MARI dilakukan secara subyektif dengan basis dislike serta bersifat diskriminatif. Ada anggota DPR yang menyatakan sebaiknya lembaga peradilan dibubarkan saja, karena Perma No. 5/2020 dianggap sebagai sebab menjamurnya sarang mafia hukum peradilan.
Padahal Perma tersebut jelas tidak berkaitan sama sekali terhadap jual beli perkara atau adanya mafia hukum. Yang menjadi ironi, kritik dilemparkan oleh anggota DPR, suatu lembaga yang mana anggotanya banyak ditangkap karena terlibat suap menyuap dan kasus korupsi.
DPR pun kerap melakukan sidang – sidang internal secara tertutup. Sebagai contoh, Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015 tentang peraturan beracara Mahkamah Kehormatan Dewan DPR (MKD), juga dijelaskan Sidang MKD pun dijalankan secara tertutup kecuali dinyatakan terbuka untuk umum oleh Ketua Sidang. Selain itu dalam sidang bersama dengan mitra pemerintah, DPR pun kerap melangsungkan sidang – sidang yang tidak dapat diakses publik.
Mengapa DPR yang kerap melakukan sidang tertutup dan tidak transparan,mengkritik MARI yang notabene hanya memberikan diskresi kepada Hakim pemeriksa perkara untuk mengizinkan/melarang pengambilan dokumentasi jalannya persidangan. Tidak seperti DPR, MARI tidak pernah melarang dan menutup akses publik untuk menghadiri jalannya persidangan (kecuali UU menyatakan lain).
Kritik–kritik kepada MARI tidak diikuti oleh penjelasan terkait apakah manfaat atau mudharat yang diberikan oleh terbitnya PERMA No. 5/2020 ini kepada publik. Masyarakat hanya disodorkan bagaimana Perma tersebut seolah–olah merupakan degradasi atas transparansi lembaga peradilan karena melarang adanya akses dokumentasi atas jalannya persidangan.