REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivis hak asasi manusia (HAM) Prof Todung Mulya Lubis menilai, peradilan sesat (miscarriage of justice) terjadi dalam penanganan perkara korupsi yang menyeret nama Mardani H Maming. Menurut pengacara senior itu, penjatuhan pidana terhadap mantan bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, tersebut adalah dipaksakan karena tidak didasarkan pada alat bukti yang memadai.
Bentuk miscarriage of justice yang paling mencolok dalam kasus ini, lanjut Todung, adalah tidak dipenuhinya hak atas peradilan yang adil (fair trial). Hakim melakukan cherry picking terhadap alat bukti yang dihadirkan selama persidangan.
Todung memandang, hakim dalam mengadili kasus ini lebih memilih untuk mempertimbangkan keterangan saksi yang tidak langsung (testimonium de auditu). Sebab, hal itu sesuai dengan dakwaan penuntut umum, ketimbang hakim mempertimbangkan alat bukti lain yang menyatakan hal sebaliknya.
"Sikap berat sebelah seperti ini jelas merupakan unfair trial. Jika alat bukti yang ada dilihat secara fair, sebenarnya dakwaan penuntut umum tidaklah terbukti” ujar Todung Mulya Lubis dalam keterangan di Jakarta, Jumat (25/8/2024).
Pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) itu juga menjelaskan, hakim memaksakan konstruksi hukum dalam peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi untuk dapat menyimpulkan terpenuhinya unsur dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Beleid ini mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor) sebagaimana diubah melalui UU Nomor 20/2001.
“Pemaksaan konstruksi hukum yang paling terlihat adalah menjadikan keuntungan dan pembagian hasil usaha sebagai pemberian hadiah,” kata diplomat yang juga mantan duta besar RI untuk Norwegia itu.
Dengan menyatakan bahwa keuntungan dari hasil usaha sama dengan pemberian hadiah, maka hakim sebenarnya sedang melakukan analogi. Padahal, lanjut Todung, menurut-analogi adalah pelanggaran berat terhadap prinsip legalitas—yang merupakan prinsip paling mendasar dalam hukum pidana.
“Korupsi memang masalah serius bagi bangsa ini. Namun tidak berarti penanganannya bisa dilakukan secara serampangan," ujar dia.
Todung pun menegaskan, Mardani H Maming yang kini sebagai terdakwa seharusnya dinyatakan bebas karena adanya miscarriage of justice dalam penanganan perkaranya. Untuk ke depannya, perlu adanya langkah-langkah korektif.
Indonesia memang tidak mengenal langkah retrial seperti yang ada di Inggris. Namun, menurut Todung, keberadaan lembaga peninjauan kembali bisa menjadi opsi untuk melakukan koreksi ini.
"Secara spesifik dalam perkara Maming, saya berharap agar Mahkamah Agung dalam proses peninjauan kembali bisa benar-benar menyoroti miscarriage of justice yang terjadi, dan mengoreksinya. Untuk itu, saya akan menyiapkan sebuah amicus curiae berkenaan dengan perkara ini untuk saya kirimkan kepada Mahkamah Agung di pekan depan,” tutup Todung.