REPUBLIKA.CO.ID, Di dalam bahasa Arab, nepotisme disebut al muhabah. Digunakan untuk menerangkan praktik dalam kekuasaan umum yang mendahulukan kepentingan keluarga dekat untuk mendapatkan suatu kesempatan.
Lantas, bagaimana Islam memandang praktik nepotisme dalam kekuasaan? Rasulullah SAW pernah dituduh berlaku nepotisme. Dalam HR Bukhari, dikisahkan bahwa ada beberapa pemuda dari kalangan Anshar yang menyindir Rasulullah SAW. Saat itu, Nabi sedang memberikan bagian kepada orang Quraisy berupa 100 unta sebagai bagian dari ghanimah (harta rampasan perang) usai melawan suku Hawazin.
Orang Anshar itu mengatakan, "Semoga Allah SWT mengampuni Rasulullah SAW karena beliau memberikan bagian kepada orang Quraisy dan meninggalkan kita. Padahal, pedang-pedang kitalah yang menumpahkan darah-darah mereka." Mendengar perkataan tersebut, sahabat Anas bin Malik lantas mengadu kepada Rasulullah SAW. Nabi pun mengutus seseorang kepada kaum Anshar untuk mengadakan satu pertemuan di kemah yang sudah dijaga sehingga tak ada orang lain mendengar pertemuan itu.
Di sana, Rasulullah SAW bersabda: "Sungguh aku memberi bagian kepada orang-orang yang masa hidup mereka masih dekat dengan kekafiran. Apakah kalian ridha orang-orang itu pulang dengan membawa harta, sebaliknya kalian kembali ke tempat tinggal kalian dengan membawa Rasulullah SAW. Demi Allah, sungguh apa yang kalian bawa pulang lebih baik dari apa yang mereka bawa." Kaum Anshar berkata: "Kami ridha wahai Rasulullah." Kemudian Nabi bersabda lagi: "Sungguh sepeninggalku nanti kalian akan melihat banyak perkara yang sangat berat. Untuk itu, bersabarlah hingga kalian berjumpa dengan Allah dan Rasul SAW di telaga al-Haudl."
Hadis tersebut merupakan klarifikasi dari Rasulullah bahwa tindakannya memberikan ghanimah yang besar bukan karena kedekatan sebagai sesama Quraisy. Pemberian tersebut lebih kepada strategi dakwah Rasulullah untuk mengambil hati kaum Quraisy yang baru saja memeluk Islam. Tak hanya itu, tudingan nepotisme pun patut diragukan karena sebelumnya Rasulullah mengalami siksaan dan intimidasi luar biasa dari kaum Quraisy semasa di Makkah. Rasulullah pun mengangkat derajat kaum Anshar karena dekat dengan Nabi.
Rasulullah juga sempat menunjukkan sikap penolakannya terhadap praktik nepotisme ketika seorang perempuan bangsawan ditangkap karena mencuri. Saat itu, kaum Quraisy kebingungan saat wanita bangsawan dari kalangannya ketahuan mencuri. Mereka pun meminta Usamah bin Zaid, sebagai pemuda yang disayangi Rasulullah, untuk meminta keringanan hukuman potong tangan yang divonis untuk perempuan tersebut. Nabi SAW pun berkhutbah usai berbicara dengan Usamah.
"Amma ba'du. Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah manakala ada orang terpandang (terhormat) dari mereka mencuri, maka hukuman atasnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya." (HR Muslim).
Selain secara tersirat, Rasulullah SAW pun secara tersurat melarang praktik nepotisme. Dalam hadis shahih yang diriwayatkan Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak dari sahabat Abdullah ibn Abbas, sebagai berikut:"Barang siapa memberikan jabatan kepada seseorang semata-mata karena didasarkan atas pertimbangan keluarga, padahal di antara mereka ada orang yang lebih berhak daripada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah SWT, Rasulullah, dan orang-orang yang beriman."
Karena itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta sempat mengeluarkan fatwa pada 12 April 2000. Ketika itu, masyarakat Indonesia masih dilanda euforia setelah Reformasi. Kutipan atas fatwa MUI DKI Jakarta berbunyi, "Nepotisme yang dilarang oleh ajaran Islam adalah nepotisme yang semata-mata didasarkan pada pertimbangan keluarga atau sanak famili dengan tanpa memperhatikan kemampuan dan profesionalisme serta sifat amanah seseorang yang akan diberi jabatan. Adapun nepotisme yang disertai dengan pertimbangan kemampuan dan profesionalisme serta sifat amanah seseorang yang akan diberi jabatan, maka hal itu tidak dilarang."
Legalitas nepotisme secara terbatas itu pun sempat tersirat dalam QS an-Nahl ayat 90. "Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebaikan serta memberi bantuan kepada kaum kerabat dan melarang daripada melakukan perbuatan-perbuatan Yang keji dan mungkar serta kezaliman. Ia mengajar kamu (dengan suruhan dan larangan-Nya ini), supaya kamu mengambil peringatan mematuhi-Nya."