REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Ilmuwan Scientific Advisory Group for Emergencies (Sage) mengingatkan, varian baru SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, yang pertama kali terdeteksi di wilayah Kent, Inggris, berpotensi membunuh lebih banyak orang pada 2021 dibandingkan varian asli di tahun ini. Dalam skenario kasus terburuk, 118 ribu orang dapat meninggal pada musim panas, dibandingkan dengan hampir 70 ribu pada tahun 2020.
Grafik dari ilmuwan menunjukkan kasus tetap akan meningkat meskipun diberlakukan pembatasan superketat. Menteri Kesehatan Matt Hancock pada pekan lalu mengatakan, sistem tiga level tidak cukup untuk mengendalikan varian baru ini.
"Mulai dari sekarang sampai akhir Juni, bisa ada lebih dari 118 ribu kematian hanya dengan sistem karantina wilayah Level Tiga,” tulis laporan The Sun, dikutip Selasa (29/12).
Peneliti Scientific Pandemic Influenza Group on Modelling (SPI-M) dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, sub grup dari SAGE menggambarkan penyebaran varian baru menggunakan data saat ini untuk memprediksi apa yang akan terjadi ke depannya. Setiap wilayah secara otomatis akan terpengaruh.
Tim peneliti memperkirakan, varian baru, secara teknis disebut B.1.1.7, 56 persen lebih mungkin ditularkan, dibandingkan varian yang sudah ada sebelumnya. Tidak ada "bukti jelas" yang menyebabkan penyakit akibat virus mutasi bisa lebih parah bagi penderita.
Di lain sisi, karena virusnya menyebar lebih cepat, berarti akan ada lebih banyak kasus, lebih banyak rawat inap, dan kemudian lebih banyak kematian. Selama masa lockdown nasional kedua pada November, sekolah masih buka, menunjukkan pembatasan terberat pun masih belum cukup kuat.
Dengan peningkatan kebijakan lockdown Level 4 di seluruh Inggris hingga akhir Januari, termasuk penutupan sekolah, diperkirakan kasus Covid-19 dapat dipangkas menjadi 107 ribu. Angka itu tetap saja masih 40 ribu jiwa lebih banyak dibandingkan tahun 2020.