REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketiga, kemaslahatan manusia merupakan tujuan utama adanya syariat Islam (maqashid al-syari‘ah). Terdapat tiga tingkatan di dalam maqashid al-syari‘ah, yaitu dlaruri (primer), haji (sekunder), dan tahsini (tersier). Maslahat dlaruriyyah adalah sesuatu yang mesti ada demi terwujudnya kemaslahatan dunia dan akhirat. “Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya kehidupan,” ujar Ali.
Dalam konteks fikih difabel, nilai kemaslahatan yang berada di tingkatan dlaruriyyah bermakna menjaga hak-hak difabel, memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, dan memberikannya kesempatan untuk berkontribusi nyata dalam segala bidang. Hal tersebut sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 143. Nilai dasar kemaslahatan menunjukkan bahwa semua manusia memiliki status yang sama sebagai khalifah di bumi, sehingga siapapun itu berhak memberikan kontribusi nyata dalam kemajuan di segala bidang. Dengan demikian, penyandang difabel dapat berpartisipasi secara nyata dalam mewujudkan kemaslahatan sesuai dengan kemampuannya.
“Seseorang yang ditakdirkan jadi difabel tidak perlu berkecil hati, karena masih bisa berbuat nyata untuk kemajuan dan kemaslahatan,” kata Ali.
Dengan demikian, nilai-nilai dasar yang diserap dalam ayat-ayat Alquran telah menunjukkan bahwa difabel merupakan bagian dari makhluk ciptaan Allah yang harus dimuliakan. Karena semua makhluk merupakan ciptaan Allah, maka harus dipandang sama dalam artian tidak melakukan diskriminasi dan melontarkan bully. Persamaan derajat di hadapan Allah juga menunjukkan bahwa kondisi difabel tidak serta-merta terhapus sebagai subyek hukum (mukallaf). Artinya mereka tetap dapat beribadah dan berkarya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Jika mereka dapat diberi kesempatan hadir di depan publik, bukan tidak mungkin kondisi difabel dapat menciptakan kemaslahatan.