Selasa 02 Feb 2021 07:45 WIB

Dewan Keamanan PBB akan Membahas Situasi di Myanmar

Kudeta itu sebagai pukulan serius bagi reformasi demokrasi.

Rep: mabruroh/ Red: Hiru Muhammad
Truk militer terlihat di dalam Balai Kota Yangon, yang sekarang berada di bawah kendali militer Myanmar, di Yangon, Myanmar,  Senin (1/2/2021). Menurut laporan media, anggota senior Liga Nasional untuk Demokrasi, termasuk pemimpin Aung San Suu Kyi , ditahan oleh militer karena perselisihan yang muncul dari pemilihan yang diadakan pada November 2020, yang hasilnya telah ditentang oleh partai oposisi yang berpihak pada militer. Langkah tersebut diyakini menandakan kudeta oleh militer.
Foto: EPA-EFE / LYNN BO BO
Truk militer terlihat di dalam Balai Kota Yangon, yang sekarang berada di bawah kendali militer Myanmar, di Yangon, Myanmar, Senin (1/2/2021). Menurut laporan media, anggota senior Liga Nasional untuk Demokrasi, termasuk pemimpin Aung San Suu Kyi , ditahan oleh militer karena perselisihan yang muncul dari pemilihan yang diadakan pada November 2020, yang hasilnya telah ditentang oleh partai oposisi yang berpihak pada militer. Langkah tersebut diyakini menandakan kudeta oleh militer.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA--Kudeta terhadap pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi oleh militer Myanmar terjadi pada Senin  (1/2) dini hari. Atas peristiwa tersebut, Dewan Keamanan PBB akan bertemu dan membahas situasi di Myanmar pascapenggulingan kekuasaan.

Pada Ahad (31/1), militer Myanmar mengumumkan keadaan jam darurat setelah menahan pemimpin de facto dan Penasihat Negara Suu Kyi, dan anggota senior lainnya dari Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang berkuasa.

Kudeta terjadi beberapa jam sebelum sesi pertama parlemen baru negara itu akan diadakan, setelah pemilihan November di mana NLD memperoleh keuntungan besar. Militer mengklaim, kudeta itu dilakukan karena kecurangan pemilihan dalam jajak pendapat yang dikatakan mengakibatkan dominasi NLD di parlemen. 

Juru Bicara PBB Stephane Dujarric pada Senin menyebutkan, kudeta itu sebagai pukulan serius bagi reformasi demokrasi. "Ada sekitar 600 ribu orang Rohingya yang tetap di Negara Bagian Rakhine, termasuk 120 ribu orang yang secara efektif dikurung di kamp," kata Dujarric dilansir dari Anadolu Agency, Selasa (2/2).

Menurut Dujarric, etnis Rohingya tidak dapat bergerak dengan bebas dan memiliki akses sangat terbatas untuk mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan dasar."Jadi ketakutan kami, peristiwa tersebut dapat memperburuk situasi bagi mereka," tambahnya.

Baca juga : Viral Khing Hnin Wai Tetap Bersenam di Tengah Kudeta Myanmar

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement