REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pengunjuk rasa kembali berdemonstrasi empat hari berturut-turut. Media setempat melaporkan demonstran memenuhi jalanan walaupun pemerintah militer melarang masyarakat berkumpul. Pemerintah melarang pertemuan lebih dari lima orang di Yangon dan Mandalay.
Militer juga memberlakukan jam malam dari pukul 20.00 hingga 04.00 waktu setempat. Kebijakan itu diterapkan satu hari usai pemimpin junta Min Aung Hlaing mengatakan tidak ada yang di atas hukum. Tetapi ia tidak menyampaikan ancaman langsung ke pengunjuk rasa.
Namun, stasiun televisi milik pemerintah memperingatkan 'tindakan harus diambil berdasarkan undang-undang yang berlaku'. "Pada setiap pelanggaran yang mengganggu, mencegah dan merusak stabilitas negara, keamanan publik dan supremasi hukum," kata stasiun televisi itu, Selasa (9/2).
Meski sudah ada peringatan tetapi masyarakat Myanmar tetap menggelar unjuk rasa. Berdasarkan foto-foto yang tersebar di media sosial terlihat warga berkumpul di Insein dan Mandalay.
"Kami tidak takut dengan peringatan, itulah mengapa keluar hari ini, kami tidak menerima alasan kecurangan pemilu, kami tidak menginginkan kediktatoran militer," kata seorang guru Thein Win Soe seperti dikutip BBC.
Pada Senin (8/2) malam lalu, Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing menyampaikan pidato pertamanya sejak kudeta 1 Februari lalu. Ia mengatakan pengambilalihan kekuasaan dapat dibenarkan secara hukum karena 'kecurangan dalam pemilihan umum'.
Ia mengatakan komisi pemilu gagal menyelidiki penyimpangan daftar pemilih dalam pemilihan bulan November lalu dan tidak menggelar kampanye yang adil. Komisi pemilu mengatakan tidak ada bukti kecurangan dalam pemilu.
Min Aung Hlaing yang memakai seragam militer dalam pidato tersebut berjanji akan menggelar pemilu dan menyerahkan kekuasaan pada pemenangnya. Ia mengatakan 'reformasi' komisi pemilu akan diawasi.