Selasa 16 Feb 2021 13:14 WIB

Potential Loss Akibat Insentif PPnBM Diperkirakan Rp 2 T

Dampak positif keringanan PPnBM dinilai jauh lebih besar daripada kehilangan pajaknya

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Karyawan menjelaskan salah satu produk mobil kepada calon pembeli di salah satu dealer di Jakarta, Senin (15/2/2021). Pemerintah memberikan keringanan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mobil baru ketegori 4x2 atau sedan dengan mesin sampai dengan 1.500 cc mulai Maret 2021 dengan tiga tahap untuk meningkatkan pertumbuhan industri otomotif dengan
Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA
Karyawan menjelaskan salah satu produk mobil kepada calon pembeli di salah satu dealer di Jakarta, Senin (15/2/2021). Pemerintah memberikan keringanan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mobil baru ketegori 4x2 atau sedan dengan mesin sampai dengan 1.500 cc mulai Maret 2021 dengan tiga tahap untuk meningkatkan pertumbuhan industri otomotif dengan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memproyeksikan, insentif terkait Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) pada dua segmen kendaraan akan menyebabkan penerimaan negara dari sektor otomotif hilang hingga Rp 2 triliun. Tapi, jumlah tersebut diyakini dapat terkompensasi dengan pertumbuhan penerimaan pajak pada sektor pendukungnya.

Diketahui, pemerintah berencana menurunkan PPnBM untuk kendaraan bermotor pada segmen kendaraan dengan cc kurang dari 1.500 untuk kategori sedan dan 4x2 secara bertahap per 1 Maret 2021. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan industri otomotif dengan local purchase kendaraan bermotor di atas 70 persen.

"Teman-teman di Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan sudah bahas dan buat simulasi. Dengan pengurangan PPnBM, potensi penurunan revenuenya barangkali di angka Rp 1 triliun koma sekian sampai Rp 2,3 triliun," tutur Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono dalam diskusi Daya Ungkit untuk Ekonomi Bangkit secara virtual, Selasa (16/2).

Tapi, Susiwijono meyakini, dampak positif yang dirasakan nantinya lebih besar. Ia menjelaskan, pengurangan hingga pembebasan PPnBM akan mendorong tingkat pembelian kendaraan bermotor. Khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah yang menjadi pasar utama dari segmen sedan dan mobil berpenggerak 4x2 di bawah 1.500 cc.

Ketika permintaan naik, produksi pun akan mengikuti. Selanjutnya, beberapa sektor pendukung terdorong untuk tumbuh. "Ketika industri ini tumbuh, penerimaan pajak sektor lain juga akan naik dibandingkan pandemi," ucap Susiwijono.

Dengan berbagai dampak ini, Susiwijono menyebutkan, efek positif akan lebih dirasakan negara dibandingkan potensi kehilangan dari pendapatan akibat insentif PPnBM. Oleh karena itu, pemerintah mendorong insentif dapat diimplementasikan segera, terutama untuk mengungkit ekonomi pada kuartal pertama.

Di sisi lain, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menekankan agar insentif PPnBM dilakukan secara berhati-hati. Sebab, dampak terhadap perekonomian tidak terlalu signifikan mengingat insentif hanya diberikan untuk jenis-jenis kendaraan tertentu. Selain itu, masyarakat yang mengonsumsi terbilang terbatas, yakni kelompok menengah ke atas.

Andry sendiri memperkirakan, dampak insentif PPnBM terhadap konsumsi hanya dirasakan dalam jangka pendek. Khususnya pada kuartal kedua, ketika diskon diberikan hingga 100 persen ditanggung pemerintah (DTP). Pada bulan-bulan berikutnya, saat diskon insentif berkurang hingga 50 persen dan 25 persen, dampak ke perekonomian pasti menurun.

Apabila tidak dilakukan secara hati-hati, Andry cemas, stimulus ini justru hanya akan menekan pendapatan negara yang sebelumnya sudah terkontraksi dalam. "Jangan sampai, pendapatan dari PPnBM akan tergerus dan berikan dampak ke penerimaan negara secara keseluruhan," tuturnya saat dihubungi Republika.co.id pada Jumat (12/2).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement