Selasa 09 Mar 2021 15:19 WIB

Umar bin Khattab tak Mau Percaya Rasulullah Meninggal

Umar bin Khattab tidak percaya karena saking cinta kepada Rasullah.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Esthi Maharani
Rasulullah SAW. Ilustrasi
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Rasulullah SAW. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kabar duka menyelimuti umat Islam ketika Nabi Muhammad wafat di usia 63 tahun. Saat sakit Rasulullah semakin parah, dia minta izin kepada semua istrinya agar dirawat di rumah Aisyah walaupun secara tidak eksplisit.

“Istri Rasulullah mengizinkan agar dirawat di kediaman Aisyah sampai dia meninggal di bilik Sayyidah Aisyah. Bahkan, kepala dia saat wafat berada di antara kepala dan dada Aisyah,” kata Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Ustadz Nur Rohmad dalam kajian kitab Aqidatul Awam di kanal Youtube NU Online.

Rasulullah wafat pada hari Senin sama seperti hari saat dia lahir dan menerima wahyu pertama. Dia meninggal pada 12 Rabiul Awal. Mendengar kabar duka ini, Sayyidina Umar bin Khattab tidak percaya karena saking cinta kepada Rasullah.

“Lalu Umar masuk ke masjid dan berceramah kepada orang-orang. Dia mengatakan ‘Sesungguhnya orang-orang munafik mendesas-desuskan isu yang salah bahwa Rasulullah telah wafat,” ujar dia.

Setelah itu, Abu Bakar mendatangi kediaman Sayyidah Aisyah dan masuk ke kamar Aisyah. Dia membuka kain penutup wajah Rasulullah. Dia yakin Rasulullah benar-benar wafat dan keluar kamar Sayyidah. Mendapati perkataan Umat saat itu, Abu Bakar menemui Umar.

“Meskipun sedih, Abu Bakar memiliki tanggung jawab untuk mengumumkan kabar duka itu,” ucap dia.

Abu Bakar meminta Umar untuk duduk tapi Umar tidak mau duduk dan tetap mengatakan orang munafik yang menyebut Rasulullah meninggal. Saat itu, Umar tidak bisa mengendalikan diri. Kemudian Abu Bakar mengutip ayat Alquran yang menyatakan bahwa Nabi bisa meninggal.

Allah berfirman dalam surat az-Zumar ayat 30:

اِنَّكَ مَيِّتٌ وَّاِنَّهُمْ مَّيِّتُوْنَ ۖ

Innaka mayyituw wa innahum mayyitụn. “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula).”

Selain itu, Abu Bakar juga mengutip ayat 144 surat Ali-‘Imran:

وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۗ اَفَا۟ىِٕنْ مَّاتَ اَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلٰٓى اَعْقَابِكُمْ ۗ وَمَنْ يَّنْقَلِبْ عَلٰى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَّضُرَّ اللّٰهَ شَيْـًٔا ۗوَسَيَجْزِى اللّٰهُ الشّٰكِرِيْنَ

Wa mā muḥammadun illā rasụl, qad khalat ming qablihir-rusul, a fa im māta au qutilangqalabtum 'alā a'qābikum, wa may yangqalib 'alā 'aqibaihi fa lay yaḍurrallāha syai`ā, wa sayajzillāhusy-syākirīn. “Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur.”

“Orang-orang yang berkumpul di depan Umar sedikit demi sedikit mulai meninggalkannya dan beralih ke hadapan Abu Bakar. Umar yang memang sangat hafal dua ayat tersebut seketika lupa karena sangat sedihnya atas wafatnya Rasulullah,” tambah dia.

Nabi dimandikan oleh pamannya al-Abbas, kedua anak al-Abbas yaitu kedua sepupunya Qasim dan al-Fadhl, Ali bin Abi Thalib, dan mantan budak yang telah dimerdekakan, yakni Syuqran dan Usamah bin Zayid. Setelah dimandikan, Rasulullah dikafani dalam tiga lembar kain kafan berwarna putih. Kemudian para sahabat mensoalatkan jenazah Rasulullah sendiri, tidak dalam keadaan berjamaah.

Beberapa ulama menjelaskan hal ini dilakukan karena semua sahabatnya berlomba-lomba ingin menjadi imam. Karena tidak menemui titik terang, akhirnya mereka sepakat untuk sholat sendiri dan tidak berjamaah.

“Saat itu, tidak ada yang dinilai paling pantas dan layak menjadi imam sholat jenazah Rasulullah,” kata dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement