Selasa 09 Mar 2021 17:12 WIB

Perjalanan Panjang Gontor Besarkan Lembaga dengan Wakaf

Gontor besarkan lembaga dengan wakaf.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Perjalanan Panjang Gontor Besarkan Lembaga dengan Wakaf. Foto: KH Hamid Fahmi Zarkasyi
Foto: youtube
Perjalanan Panjang Gontor Besarkan Lembaga dengan Wakaf. Foto: KH Hamid Fahmi Zarkasyi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Rektor Universitas Darussalam (Unida) Gontor, Prof Dr Hamid Fahmy Zarkasyi, memberi penjelasan tentang bagaimana Gontor berkembang dengan wakaf. Dia memaparkan, gagasan pendiri Gontor ada tiga. Pertama, adalah pondok pesantren masa depan harus memiliki khazanah atau simpanan agar bisa mandiri secara finansial.

Kedua, pondok pesantren harus memiliki sistem kepemimpinan yang kuat dan bertahan lama. Dan ketiga, pondok pesantren pada masa depan harus berbentuk wakaf. Hal ini sebagaimana lembaga pendidikan Islam di masa lalu, misalnya pada zaman Dinasti Abbasiyah.

Baca Juga

"Lembaga pendidikan Islam pada masa lalu itu mendapat dukungan dana besar dari wakaf. Pada zaman Abbasiyah, setiap orang yang mau belajar, langsung diterima, mendapatkan tikar, lampu, pena, dan mendapat tempat untuk belajar. Tidak ada biaya yang dipungut," tuturnya dalam agenda daring "Launching dan Seminar Internasional Mawarith Linked Waqf" yang digelar International Centre for Awqaf Studies (ICAST) Universitas Darussalam (Unida) Gontor, Selasa (9/3).

Universitas al-Azhar Kairo di Mesir, Hamid menerangkan, merupakan pelopor penggunaan wakaf untuk mengembangkan lembaga pendidikan. Dengan wakaf, universitas tersebut bsia bertahan sampai 1.000 tahun dan telah memberikan beasiswa kepada 500 ribu mahasiswa dari seluruh dunia. "Ini menjadi contoh bagi pendiri Gontor," ucapnya.

Pada 1958, Hamid mengatakan, tiga pendiri Pondok Pesantren Modern Gontor menyerahkan wakaf kepada badan wakaf atau nazir setelah pondok tersebut berjalan dengan sistemnya dan 1.000 murid. Saat itu, yang diwakafkan adalah tanah kering 1,7 hektare, tanah basah 16 hektare, 12 unit bangunan, masjid, dua gedung kelas, satu balai pertemuan, enam bangunan asrama putri, satu perumahan guru, dan satu bangunan perpustakaan.

Sedangkan, nazirnya adalah tokoh-tokoh masyarakat dari seluruh Indonesia yang pernah belajar di Gontor. "Setelah para pendiri wafat, badan wakaf menjadi lembaga tertinggi yang memilih pimpinan gontor, pimpinan institusi," ucapnya.

Hamid menjelaskan, Gontor juga membentuk wakaf fund atau simpanan dana wakaf yang bersumber dari usaha wakaf, muhsinin, dan dari wakaf santri. Simpanan dana tersebut dikembangkan lagi, misalnya lewat usaha-usaha, seperti mendirikan pom bensin, apotek, sawah, kebun kelapa sawit, dan usaha-usaha lainnya. Total ada 29 unit usaha pada wakaf fund itu.

"Hasil wakaf fund itu juga untuk kesejahteraan, untuk membangun perumahan bagi guru dan dosen kader. Guru dan dosen kader ini mendapat rumah di Gontor, mendapat ihsan, bantuan emergency, reward, misalnya diumrahkan atau dihajikan," ujarnya.

Pimpinan, kiai, guru dan dosen kader, Hamid menjelaskan, tidak mendapatkan skim gaji. "Tetapi, semua guru kader mendapat rumah dan ihsan bulanan dari harta wakaf, bukan dari iuran santri. SPP santri tidak untuk membayar guru sehingga santri mendapat keringanan karena ini pondok pesantren wakaf," tuturnya.

Hamid menilai, lembaga wakaf agar menjadi berkembang harus disertai dengan keikhlasan. Sebab jika tidak, yang terjadi adalah perebutan materi. "Tetapi, di Gontor alhamdulillah tidak terjadi hal seperti itu karena Panca Jiwa menjadi kehidupan para guru dan dosen yang menjalankan harta wakaf ini," katanya menjelaskan.

Selain itu, Hamid menambahkan, harta atau sesuatu yang hendak diwakafkan seharusnya sudah menghasilkan. Contohnya adalah ketika Gontor diwakafkan pada 1958. Saat itu, Gontor sudah berjalan dengan 1.000 murid.

"Maka, ini bisa diqiyaskan. Seharusnya orang yang berwakaf itu mewakafkan sesuatu yang sudah menghasilkan. Jadi, para agniya (orang kaya), kalau bisa mewakafkan perusahaan yang sudah berjalan dan menguntungkan, bukan perusahaan yang rugi," ujarnya.

Saat ini, Hamid menambahkan, amanat wakif telah tercapai, yaitu mendirikan universitas. Perguruan tinggi dirintis pada 1963 dan baru menjadi universitas secara penuh pada 2014 lalu. Dia menyadari pendirian universitas memakan waktu yang panjang karena terkendala persoalan SDM.

"Maka, pada 2014 baru menjadi universitas penuh, full university. Dan, inilah sebenarnya amanat para wakif untuk menjadikan Gontor sebagai universitas," katanya menjelaskan.

 

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement