REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Suriah menjadi "mimpi buruk yang nyata" di mana sebagian anak-anak tidak pernah sehari pun hidup tanpa perang dan 60 persen rakyat Suriah berisiko menderita kelaparan.
"Tidak mungkin untuk sepenuhnya menyelidiki tingkat kehancuran di Suriah, akan tetapi rakyat (Suriah) telah mengalami kejahatan tersadis yang disaksikan oleh dunia abad ini. Skala kekejaman itu menggetarkan hati nurani," kata Sekjen PBB Antonio Guterres saat memperingati 10 tahun konflik Suriah.
"Suriah mundur dari halaman muka. Namun, situasinya masih menjadi mimpi buruk yang nyata." katanya kepada awak media.
Penindakan keras oleh Presiden Suriah Bashar al-Assad terhadap demonstran prodemokrasi pada 2011 menyebabkan perang saudara, dengan Moskow mendukung Assad dan Washington mendukung kubu oposisi. Jutaan rakyat menyelamatkan diri dari Suriah dan jutaan lainnya mengungsi di dalam negeri.
"Lebih banyak akses kemanusiaan yang diperlukan," kata Guterres pada Rabu (10/3). "Pengiriman bantuan lintas batas sangat penting untuk menjangkau orang-orang yang membutuhkan di mana saja. Inilah alasannya saya berulang kali mendesak Dewan Keamanan agar mencapai konsensus mengenai isu genting ini."
Dewan Keamanan PBB beranggota 15 negara pertama kali mengizinkan operasi bantuan lintas batas ke Suriah pada 2014 di empat titik. Tahun lalu DK mengurangi akses ke satu titik persimpangan dari Turki lantaran adanya penentangan dari Rusia dan China untuk memperbaruhikeempat titik itu.
Badan PBB itu dijadwalkan akan membahas lagi isu bantuan lintas perbatasan pada Juli. Selama satu dekade terakhir, Dewan Keamanan terpecah tentang bagaimana menangani Suriah, dengan sekutu Suriah, Rusia, dan China dibenturkan dengan anggota Negara Barat. Rusia memveto 16 resolusi DK PBB terkait pengiriman bantuan ke Suriah dan didukung oleh China untuk sebagian besar suara tersebut.