REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto, Jurnalis Republika
Sudah lama aku ingin berangkat ke Amerika Serikat (AS). Aku ingin menggenapkan langkah kakiku ke lima benua. Hanya Benua Amerika yang belum aku jejaki.
Kesempatan ke AS datang tahun 2019. Kementrian Luar Negeri mengundang Republika meliput Sidang Dewan Keamanan PBB di New York. Tahun itu Indonesia giliran menjadi Ketua DK PBB selama satu bulan.
Pemberitahuan keberangkat ke New York sangat mendadak. Kami empat wartawan dari Metro TV, Jakarta Post, RRI, dan Republika ketar-ketir saat mengurus visa di Kedubes AS. Visa baru jadi dua hari sebelum keberangkatan.
Saat itu pas bulan Ramadhan. Puasa pertama aku jalani di udara, dalam perjalanan 15 jam ke New York. Tidak terlalu berat menjalaninya, karena aku hanya tiduran di atas pesawat.
Di New York, kota yang dijuluki Big Apple itu, kegiatannya adalah meliput sidang-sidang Dewan Keamanan PBB. Indonesia memanfaatkan posisi ketua DK PBB dengan mengajukan agenda perjuangan Palestina.
Liputan sidang-sidang PBB itu cukup melelahkan. Acaranya padat dari pagi sampai malam. Sidang bisa berjam-jam.
Sering kali kami semua tertidur saat mengikuti sidang DK PBB. Apalagi jika sidangnya siang sampai sore.
Belum lagi acara pertemuan Menlu dengan berbagai perwakilan negara lain. Hampir tak ada waktu untuk istirahat.
Waktu New York berbeda 12 jam dengan Jakarta. Jadinya jam biologis terbalik. Saat waktu tidur di Jakarta, kami masih sibuk meliput. Sedangkan ketika waktu tidur di New York, kami masih harus menulis berita, karena waktu Jakarta masih siang.
Kami menginap di Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) New York. Jaraknya hanya berberapa blok dari Markas Dewan Keamanan PBB. Cukup berjalan kaki sampai ke sana.
Meliput di negeri orang saat bulan Ramadhan adalah tantangan tersendiri. Yang agak repot adalah mencari makanan, terutama makanan halal. Makanan halal yang paling mudah didapat adalah food truck. Cuma lokasinya agak jauh dari tempat kami tinggal. Harus berjalan beberapa blok.
Makanan yang dijual di kios gerobak pinggir itu didominasi makan Timur Tengah dan India. Harganya sekitar 8-12 dolar AS (sekitar Rp 112 ribu sampai Rp 168 ribu) satu porsi.
Kadang kami harus menyetok makanan sejak siang untuk berbuka, dan malam untuk sahur. Jika tak sempat mendapatkan makanan, terpaksa sahur dengan mi rebus yang kami masak sendiri di pantry PTRI. Tak selalu mendapatkan nasi. Apa sajalah, yang penting perut terisi dan makanan tidak haram.