REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH - Dalam rapat virtual kabinet Arab Saudi yang dipimpin Raja Salman, diketahui bahwa mereka menyetujui peraturan donasi organ manusia. Peraturan yang dibentuk oleh Dewan Shuro Saudi pada September 2019 silam itu, memungkinkan pemindahan, pembudidayaan, pelestarian dan pengembangan organ untuk melestarikan kehidupan.
Tak hanya itu, dikatakan juga bahwa aturan tersebut bertujuan untuk melindungi hak pemindahan organ manusia. Termasuk fasilitas kesehatan berlisensi.
Mengutip saudi gazette Kamis (1/4), mereka juga mendefinisikan tanggung jawab terkait dengan donasi dan transplantasi organ dalam upaya mencegah eksploitasi kebutuhan pasien, atau perdagangan organ manusia. Hal itu, juga ditegaskan oleh Majelis Ulama Senior dan Majelis Yurisprudensi Islam yang sempat mengeluarkan fatwa 22 tahun silam, dan mengesahkan sumbangan organ orang yang telah meninggal.
Meski aturan-aturan itu telah ada, namun studi pemahaman warga setempat masih jarang mengetahuinya. Dalam sebuah studi tahun 2019 yang diterbitkan dalam Saudi Journal of Kidney Diseases and Transplantation, menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Kerajaan tidak mengetahui undang-undang donasi organ lokal atau internasional.
Bahkan, dikatakan penelitian, jika tingkat pengetahuan mereka tidak lebih dari 12,6 persen. Hal itu, menurut penelitian telah menyebabkan rendahnya jumlah pendonor organ potensial di negara tersebut.
Dilansir dari Arab News, studi yang sama juga menunjukkan bahwa Arab Saudi memiliki tingkat donor organ yang rendah, diperkirakan 2 hingga 4 per juta populasi (PMP). Jumlah itu sangat rendah, dibandingkan dengan negara lain, seperti AS dengan angka donor 26 PMP.
Menurut angka yang tercatat antara 1986 dan 2016, terdapat 13.174 organ yang ditransplantasikan dari donor hidup dan mati, termasuk 10.569 ginjal, 2.006 hati, 339 jantung, 213 paru-paru, dan 46 pankreas.