REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika
Menembus birokrasi di instansi militer memang tidak mudah. Apalagi jika pangkatnya makin tinggi. Kemarin, saya bertemu dengan tiga jenderal komando di Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Mereka adalah Irjen Kemenhan Letnan Jenderal Ida Bagus Purwalaksana, Asisten Khusus Menhan Letnan Jenderal (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin, dan Kabainstrahan Kemenhan Mayor Jenderal Yulius Selvanus.
Ida Bagus Purwalaksana adalah anak dari mendiang Letjen (Purn) Ida Bagus Sudjana, mantan Kasum ABRI, Sekjen Dephankam, dan Menteri Pertambangan dan Energi era Presiden Soeharto. Dahulu saya sempat meliput almarhum ayahnya. Kini anaknya jadi teman.
Sjafrie Sjamsoeddin mantan Wakil Menhan era Presiden SBY. Sangat dikenal dekat dengan wartawan. Pernah menjadi Pangdam Jaya saat kerusuhan Mei 1988, juga mantan Kapuspen TNI. Sjafrie dikenal sebagai sahabatnya Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan.
Selain itu saya komunikasi lewat telepon dan Whatsapp dengan Dirjen Pothan Kemenhan Mayor Jenderal Dadang Hendra Yudha, Kolonel (Infanteri) Y Putrajaya, serta Dandenma Kodam III/Siliwangi Kolonel (Infanteri) Endang Nurmansyah. Yulius Selvanus dan Dadang Hendra Yudha, pernah menggemparkan saat berpangkat Kapten.
Mereka adalah anggota Tim Mawar yang kontroversial. Yulius adalah kakak kelas kami di SMAN 38. Sedangkan Endang Nurmansyah, teman seangkatan di SMAN 38. Sementara Putrajaya adalah sahabat saya yang pernah menjadi Danrem di Banjarmasin dan Paban Ster di Mabesad.
Atas saran saya, Putrajaya menjadikan Fauzan juara karate di Republik Ceska ditarik menjadi bintara TNI. Fauzan kini personel Yonzipur 9/Kostrad di Kota Bandung, Jawa Barat dengan kemampuan karate yang hebat. Putrajaya sudah selesai pendidikan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Tinggal menunggu pangkat bintang di pundaknya.
Mereka semua adalah produk Korps Baret Merah. Hari ini pada Jumat, 17 April 2021, merupakan Dirgahayu ke-69 Komando Pasukan Khusus (Kopasssus). Salah satu pasukan elite terbaik di dunia. Komando!
Jenderal legendaris
Subuh (Jumat) ini, saya menghubungi melalui chatting Whatsapp mantan Komandan ke-6 Kopassus, Jenderal (Purn) Widjojo Soejono. Dialah jenderal bintang empat purnawirawan paling tua yang masih hidup saat ini. Usianya, Mei 2021, genap 93 tahun.
Tentu saja saya mengucapkan dirgahayu Korps Baret Merah. Dia membahasakan panggilan ke saya, ananda. Karena itu pula, saya memanggilnya ayahanda. Usia kami terpaut sekitar 39 tahun.
"Saya baik-baik saja dalam isolasi yang membosankan. Belum bisa ikut vaksinasi, karena diabetes saya," kata Widjojo menuturkan kondisi kesehatannya. Berikutnya, ia masuk ke wilayah politik. "Reshuffle (kabinet) yang terlalu sering, punya muatan salah pilih yang pada gilirannya akibat salah baca (potensi)."
Widjojo ingatannya luar biasa. Saya menjadikannya sebagai narasumber 'perpustakaan hidup'. Hanya pendengarannya yang sudah berkurang. Sehingga menggunakan alat bantu pendengaran. Ia saksi hidup sejumlah peristiwa 1945, serta sejumlah pergolakan di Indonesia.
Jabatan terakhirnya adalah Kepala Staf Kopkamtib pada 1980-1982 dengan pangkat jenderal bintang empat. Dialah yang menggantikan Kolonel (Infanteri) Sarwo Edhie Wibowo pada 1967. Untuk pertama kalinya Korps Baret Merah dipimpin perwira tinggi pada era Widjojo.
Sering dipanggil dengan sebutan Jenderal Billy. Saat itu kesatuan komando berganti nama dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) menjadi Pusat Pasukan Khusus (Puspassus). Komandan resimen memang untuk perwira berpangkat Kolonel. Sedangkan Puspassus untuk komandan dengan pangkat Brigjen.
Sebelumnya saat berpangkat Letkol (Infanteri), Widjojo sempat menjadi Kepala Staf RPKAD pada 1959-1961. Kemudian Komandan Brigade Para Kostrad. Ketika berpangkat Kolonel (Infanteri), Widjojo sebagai Paban Operasi Staf Umum II AD. Anak buah dari Asops Pangad Mayjen Djamin Ginting.
Lulusan US Army Command & General Staff College, Forth Leavenwoeth (1963-1964) ini memiliki jabatan bergensi saat menjadi perwira tinggi. Ketika Brigjen menjadi Panglima Komando Tempur IV Kostrad, Komandan Puspassus AD, Panglima Kodam Merdeka. Ayahanda Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo pernah menjadi ajudan Brigjen Widjojo saat Pangdam Merdeka.
Kala ditunjuk menggantikan Sarwo Edhie Wibowo, dia kembalikan kualitas tempur pasukan komando. Mungkin karena terlalu sering mendapatkan sorotan media dan 'ngetop' dalam operasi-operasi terhadap PKI, prajurit agak lengah. Ia kembali mengetes kemampuan prajurit. Haram hukumnya 10 peluru tidak masuk ke sasaran utama dalam uji tembak.
Sebanyak 10 peluru, sebanyak itu pula yang harus masuk. Termasuk kemampuan lempar pisau. Karena beberapa prajurit tak berhasil, dia hukum dan ancam dikeluarkan dari Puspassus. Sejak itu, pantang prajurit tampil di media massa. "Ini prajurit komando. Bukan prajurit yang ngetop di koran dan televisi."
Berpangkat Mayjen sebagai Pangdam Brawijaya selama empat tahun (1971-1975). Kemudian Letjen sebagai Panglima Kowilhan III (Sulawesi-Kalimantan) 1975-1978, Panglima Kowilhan II (Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Timor Timur) 1978-1980. Kendali operasi Timor Timur ada dalam genggamannya.
Terakhir berpangkat Jenderal sebagai Kepala Staf Kopkamtib 1980-1982. Dia menjadi sesepuh tertua TNI yang masih hidup dan paling dihormati oleh pasukan komando. Widjojo juga ketua umum pertama PORKI yang kemudian berubah menjadi FORKI (Federasi Olahraga Karate-do Indonesia) pada 1972-1977.
Para karateka pasti memberikan tempat terhormat untuk jenderal sepuh ini. Di kediamannya, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan yang ditonjolkan pada hiasan dindingnya, antara lain saat aktif sebagai jenderal dan karateka.
"Coba tahan perutmu, nak. Tes gyaku-zuki (pukulan lurus ke depan) saya ke perutmu." Ia pun memukul perut saya. Buuugg.... Saya menahan napas. Masih cukup kuat untuk usia 90 tahunan. Widjojo pun tertawa riang. Wawancara sambil dipukul, ini sesuatu banget. Pukulan karateka sekaligus jenderal komando.
Osh... Dirgahayu Komando!