REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan berpeluang menguat terbatas pada pekan ketiga April ini. Sentimen dari dalam negeri disebut menjadi katalis positif bagi pergerakan pasar saham, salah satunya prediksi terkait suku bunga acuan.
Direktur PT Anugerah Mega Investama, Hans Kwee, mengatakan kemungkinan Bank Indonesia (BI) akan mempertahankan tingkat suku bunga acuan tetap rendah dan tidak berubah sampai akhir tahun ini. Kebijakan ini untuk mendukung pemulihan ekonomi, sambil menjaga stabilitas pasar keuangan.
BI diperkirakan akan mempertahankan 7 days reverse repurchase rate di level 3,50 persen dalam rapat kebijakan Senin dan Selasa pekan depan. "Ini merupakan sinyal positif bahwa pemulihan ekonomi di dalam negeri bisa dilakukan dengan cepat," kata Hans melalui keterangan tertulis, Ahad (18/4).
Dari faktor eksternal, kata Hans, pergerakan pasar saham akan mendapat pengaruh dari data-data ekonomi Amerika Serikat (AS). Departemen Perdagangan AS melaporkan penjualan ritel periode Maret tumbuh 9,8 persen. Data ini melebihi konsensus Dow Jones yang memprediksi akan ada kenaikan penjualan ritel sebesar 6,1 persen.
Ini merupakan kenaikan terkuat sejak Mei 2020. Penjualan ritel naik akibat stimulus fiskal tambahan dari pemerintah yang salah satunya berupa bantuan tunai sebesar 1.400 dolar AS sehingga membuat belanja konsumen melonjak.
Departemen Tenaga Kerja AS juga melaporkan jumlah klaim pengangguran baru mingguan untuk periode hingga 10 April tercatat hanya 576 ribu, jauh lebih rendah dari konsensus Dow Jones sebesar 710 ribu. Klaim tunjangan pengangguran untuk pertama kali turun ke posisi terendah sejak Maret 2020.
Hans menilai data ekonomi AS yang baik dan laba emiten Wall Street yang di atas expektasi memberikan sentimen positif pada pasar saham. "Data ekonomi AS yang baik menjadi katalis kenaikan pasar saham," kata Hans.
Selain itu katalis potitif lainnya datang dari stabilnya Yield US Treasury. Yield obligasi AS tenor 10 tahun menurun 1,529 persen ke level terendah dalam lima pekan terakhir dan jauh di bawah posisi tertinggi 14 bulan terakhir di level 1,766 persen yang terjadi pada akhir Maret 2021.
Penurunan yield ini karena didorong oleh pembelian Jepang seiring dimulainya tahun finansial baru. Selain itu pelaku pasar masuk kembali membeli obligasi AS yang sudah terdiskon sejak awal tahun.
"Yield yang stabil dan cenderung turun menjadi katalis positif bagi saham-saham teknologi yang mengandalkan pertumbuhan dan cenderung mendorong pasar saham negara berkembang naik," terang Hans.