REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ina Salma Febriani
Belum pulih dari serangkaian bencana yang menimpa negeri tercinta, penghujung April kita dikejutkan oleh peristiwa nahas yang menimpa KRI Nanggala 402. Kapal selam bermuatan 53 awak kapal ini dinyatakan berstatus subsunk (tenggelam) di kedalaman 853 meter pada Ahad (25/4).
Belum ada keterangan lebih lanjut mengenai penyebab tenggelamnya kapal ini. Beberapa sumber menyatakan bahwa kapal berwarna hitam memanjang dan bertuliskan 402 di sebagian sisinya ini terbelah menjadi tiga. Korban dinyatakan meninggal dunia. Seluruhnya.
Genap sudah para ‘hamba pilihan’ Tuhan ini menyelesaikan amanah terbesarnya. Menjaga kedaulatan bahari Indonesia. Tak sedikit hal yang dikorbankan agar mereka dapat terus menyelam. Anak, isteri, orangtua, keluarga, harus ikhlas ditinggal demi bisa mengemban tugas. Sedemikian mulia, sedemikian menggetarkan jiwa. Ya, peristiwa tenggelamnya kapal ini menghentakkan batin sekaligus menjadi pelajaran berharga untuk kita semua tentang pengabdian menuju Tuhan.
Jika mereka yang syahid adalah manusia pilihan Tuhan, maka kapal yang dibuat tahun 1977 ini menjadi ‘persinggahan terakhir’ tempat para pejuang negara ini mengabdi. Kapal dibuat di Kiel, Jerman Barat ini sudah tal terbilang jasanya. Ia pernah digunakan untuk berbagai situasi, termasuk misi intelijen di Samudera Hindia, April hingga Mei 1992.
Agustus – Oktober, KRI Nanggala 402 kembali bertugas melacak misi intelijen Timor Timur untuk mengawasi pergerakan pasukan Interfet (International Force for East Timor). Tak berhenti sampai disitu, Mei 2005, ditugaskan ke Blok Masela, memanasnya hubungan Indonesia Malaysia. Usia yang tak lagi muda, kapal ini pernah kembali ke Jerman untuk dilakukan peremajaan dan selesai tahun 1989. Beberapa tahun kemudian, kapal ini diperbaiki total di Korea Selatan dan selesai Februari 2012.