Oleh karena itu, tidak ada manusia yang mampu memastikan terjadi Lailatul Qadar. Sebab, jika manusia dapat memastikan, maka manusia akan beramal secara temporer bahkan bias sifatnya tidak ikhlas mengharapkan ridha Allah.
Dalam buku Ringkasan Fikih Puasa Lengkap (Ringkasan Syarah 7Manhajus Salikin wa Taudhih al Fiqhi fid-Din -Kitab ash-Shiyam-), Al-Hafiz Ibnu Hajar telah menukilkan adanya perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah terjadinya Lailatul Qadar, ada lebih dari 40 pendapat. Di antaranya ada dua pendapat mengenai Lailatul Qadar yang terkuat.
“Pertama, Lailatul Qadar berpindah-pindah setiap tahunnya, pada salah satu dari malam-malam sepuluh hari terakhir Ramadhan. Terkadang terjadi di malam ganjil dan terkadang terjadi di malam yang genap. Akan tetapi, harapan terjadinya di malam-malam ganjil lebih besar daripada di malam-malam genap,” ucap dia.
Pendapat tersebut merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin. Kedua, Lailatul Qadar berpindah-pindah di setiap tahunnya di antara malam-malam ganjil saja pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hajar dan asy-Syaukani.
“Rasulullah selalu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Baginda berkata, ‘Carilah oleh kalian Lailatul Qadr pada sepuluh hari terakhir Ramadhan’,” (Muttafaq ‘alaih)