Selasa 04 May 2021 15:37 WIB

Menlu G7 Serukan Tindakan Terpadu Hadapi Ancaman Global

Wabah Covid-19 tunjukkan tidak ada satu pun negara yang bisa hadapi tantangan global.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Jonathan Buckmaster/Daily Express/PA/picture alliance
Jonathan Buckmaster/Daily Express/PA/picture alliance

Para menteri luar negeri negara-negara yang tergabung dalam G7 pada hari Selasa (04/05) bertemu di London dalam pembicaraan tatap muka pertama mereka dalam lebih dari dua tahun akibat wabah corona.

Mereka menyerukan perlunya tindakan bersama guna mengatasi ancaman global yang paling mendesak. Konflik kemanusiaan yang terjadi di Cina, Myanmar, Libya, Suriah, dan Rusia juga akan berada dalam agenda pembicaraan para menteri dari negara ekonomi terkuat ini.

Pertemuan tatap muka para menteri luar negeri ini berlangsung menjelang KTT G7 yang rencananya diadakan bulan Juni di Cornwall, Inggris. Pada Selasa, perwakilan dari Amerika Serikat (AS), Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, dan Uni Eropa akan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab.

Para menteri ini juga akan membahas kekerasan di Etiopia, Iran dan Korea Utara, Somalia, Sahel dan Balkan barat, sebagai bagian dari "masalah geopolitik mendesak yang mengancam demokrasi, kebebasan, dan hak asasi manusia."

Pendekatan terpadu untuk hadapi ancaman global

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada hari Senin (03/05) dan keduanya sepakat tentang perlunya sebuah pendekatan yang lebih terpadu.

Kementerian Luar Negeri Inggris mengatakan Dominic Raab akan mendesak negara-negara G7 mengambil tindakan yang lebih kuat terhadap junta militer di Myanmar, termasuk dengan memperluas sanksi yang ditargetkan terhadap individu dan entitas yang terkait dengan tentara, mendukung embargo senjata, dan meningkatkan bantuan kemanusiaan.

"Kepresidenan G7 di Inggris merupakan kesempatan untuk menyatukan masyarakat yang terbuka dan demokratis dan menunjukkan persatuan pada saat sangat dibutuhkan untuk mengatasi tantangan bersama dan meningkatnya ancaman," ujar Raab dalam sebuah pernyataan.

Blinken menegaskan perlunya sikap bersama, dan menegaskan kembali komitmen AS terhadap "tatanan berbasis aturan internasional" untuk mengatasi masalah perubahan iklim hingga pemulihan pascapandemi.

Para menteri ini akan bertemu di bawah protokol virus corona yang ketat, dengan dibatasinya jumlah delegasi dan adanya jarak sosial, termasuk wajib memakai masker wajah dan adanya pembatas di antara pembicara.

Inggris sendiri termasuk yang paling parah terpukul wabah corona dan telah melaporkan lebih dari 127.500 kematian akibat wabah tersebut. Namun negara itu secara bertahap telah mengurangi pembatasan seiring meningkatnya vaksinasi dan menurunnya kasus infeksi. Wabah corona pun telah mendorong seruan untuk adanya tindakan internasional yang lebih terpadu, termasuk akses luas ke vaksin.

"Sebagian besar tantangan yang kita hadapi ... tidak satu pun dari tantangan itu dapat secara efektif dihadapi oleh satu negara yang bertindak sendiri - bahkan Amerika Serikat, bahkan Amerika Serikat. Kerajaan," kata Blinken dalam konferensi pers bersama dengan Raab pada Senin malam.

Masalah geopolitik hingga perubahan iklim

Setelah melakukan pembicaraan, para menteri luar negeri dijadwalkan akan mengadakan diskusi makan malam dengan negara-negara tamu yakni India, Australia, Afrika Selatan, Korea Selatan dan ketua Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tahun ini yaitu Brunei Darussalam.

Diskusi kemudian akan beralih ke Libya dan perang yang sedang berlangsung di Suriah. Sore harinya, para politisi akan membahas situasi di Etiopia, serta Somalia, Sahel, dan Balkan Barat. Para menteri luar negeri juga akan berbicara tentang tindakan Rusia termasuk peningkatan jumlah pasukannya di perbatasan dengan Ukraina, pemenjaraan Alexei Navalny, dan situasi di Belarusia.

Raab mengatakan kehadiran para menteri ini menjadi bukti "meningkatnya permintaan dan kebutuhan akan kelompok negara-negara cepat tanggap yang mengususung nilai-nilai yang sama dan ingin melindungi sistem multilateral."

Inggris, yang meninggalkan UE tahun lalu, mencari peluang perdagangan dan investasi baru ke negara-negara Asia-Pasifif. Langkah ini juga mencerminkan kian meningkatnya kepentingan strategis kawasan negara itu.

Inggris juga menginginkan komitmen global yang lebih luas dan lebih kuat untuk mengatasi perubahan iklim, saat ia bersiap menjadi tuan rumah KTT perubahan iklim PBB, COP26, pada November mendatang. Sebagai sekutu dekat, Inggris dan AS juga kian sejalan dalam kebijakan luar negeri utamanya dalam menghadapi ancaman geopolitik, terutama dari Rusia dan Cina.

ae/hp (AFP, dpa)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement