IHRAM.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, jurnalis Republika.
Sengaja artikel ini menggunakan istilah kadrun bukan bermaksud politis atau memecah belah. Tapi ini sekedar meminjam istilah yang menjadi perbincangan publik dengan semangat untuk menguatkan persatuan bangsa, sehingga pembelahan atau polarisasi sosial harus dihentikan bagaimanapun caranya. Ini karena tidak produktif bagi perkembangan bangsa.
Hari-hari ini negara kita memang terbelah dengan fakta olok-olokan yang meluas, yakni antara Kadrun (kadal gurun) dan kampret. Model pembelahan ini muncul dan marak sejak persaingan politik perebutan kursi gubernur DKI Jakata, hingga semakin eksis dalam putaran dua pilpres terakhir.
Sebutan kadrun untuk menyebut mereka yang bersemangat sama Islam dengan dianggap ke Arab-araban, yang kampret untuk mereka yang terpengaruh budaya di luar itu (anti Islam).
Dan bila dilihat dari kajian sejarah fenomena ini juga bukan hal luar biasa. Bahkan sudah terjejak merupakan agenda lama sejak zaman kolonial, yakni seusai perang Jawa (1825-1830). Kala itu kolonial berusaha keras memisahkan Islam yang ternyata merupakan alat yang paling efektif untuk menggalang perlawanan rakyat.
Tak hanya membuat skema permisahan politik antara bangsawan dan pesantren (umat Islam), mereka juga berusaha keras mencabut Islam dari benak sejarah orang Jawa. Tak hanya dibikinkan pendidikan dan sistematika sejarah, kolonial juga buatkan lembaganya.
Namun, usaha itu tentunya tak berlangsung mulus setelah datang kemerdekaan. Bahkan ketika muslim mulai terdidik, pada tahun 1980-an mulai muncul kajian yang menguliti agenda itu. Salah satunya dari DR Aqib Suminto, yang menulis disertasi tentang Politik Islam di Hindia Belanda.
Setelah itu muncul banyak peneliti lain yang juga mengulitinya. Sosok terdepan ada pada sejarawan Australia MC Ricklefs dan pakar filologi Amerika Serikat, Nancy K Florida.
Dan bagi Muslim Indonesia, situasi pertarungan 'olok-olokan' dalam perkembangan mutakhir mirip sekali dengan apa yang terjadi sebelum geger pemberontakan PKI 1965. Kala itu ajaran dan sosok Islam dilecehkan habis-habisan. Ada kisah sandiwara 'Gusti Allah Mantu', Haji menjadi termasuk anggota tujuh setan desa, pesantren disebut kandang bobrok, santri sebagai orang yang disebut kumpulan orang penderita penyakit gudig.