REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Bintang tenis Jepang Kei Nishikori mengatakan, ia sepakat dengan kompatriotnya Naomi Osaka bahwa penyelenggara Olimpiade Tokyo perlu dibahas kembali. Pesta olahraga empat tahunan itu akan dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19.
Status darurat virus di ibu kota Jepang dan sejumlah bagian dari negara Asia Timur telah diperpanjang sejak Jumat (8/5), kurang dari tiga bulan sebelum olimpiade dihelat. Sebagian masyarakat Jepang juga mendesak pembatalan olimpiade, yang telah tertunda dari jadwal asli penyelenggaraannya pada musim panas tahun lalu karena krisis kesehatan global.
Osaka mengatakan, tentu perlu ada pembahasan apakah Olimpiade Tokyo harus berlangsung. Nishikori, yang merupakan mantan petenis peringkat empat dunia, mengatakan bahwa akan sulit menghelat olimpiade bahkan di stadion tertutup bagi penonton karena tingginya angka atlet yang berpartisipasi.
"Saya tidak paham apa yang mereka pikirkan, dan saya tak tahu sejauh apa yang mereka pikirkan tentang bagaimana mereka akan membuat gelembung karena ini bukan hanya 100 orang yang ikut turnamen ini," kata Nishikori setelah mengalahkan Fabio Fognini di babak pertama Italian Open, dilansir AFP, Selasa (11/5). "Ada 10.000 orang di kampung atlet dan bertanding di turnamen. Jadi saya rasa itu tidaklah mudah, khususnya (dengan) apa yang terjadi saat ini di Jepang. Itu tak ada manfaatnya."
Penyelenggara telah menyatakan bahwa fan asing tidak akan diizinkan masuk ke Jepang untuk menonton olimpiade.
Nishikori melewatkan US Open tahun lalu setelah terjangkit virus corona, dan dia juga harus menjalani karantina di hotel selama dua pekan untuk Australian Open 2021 pada Februari.
"Jika mereka bisa membuat gelembung yang baik, mungkin mereka bisa melakukannya, tapi ada risikonya juga. Anda tahu, apa yang terjadi jika ada ratusan kasus di kampung atlet, atau ribuan? Corona sangat cepat menyebar. Jadi saya sependapat dengan Naomi. Anda harus benar-benar membahasnya, bagaimana Anda bisa bertanding dengan sangat aman," jelas Nishikori.
Jepang telah mencatatkan sedikitnya 10.500 kematian akibat Covid-19, meski angkanya lebih rendah dari banyak negara lainnya. Akan tetapi, proses pemberian vaksin di negara itu berjalan lambat dan sejumlah wilayah telah menyaksikan kenaikan kasus ketika varian baru virus menimbulkan gelombang infeksi baru.