Kamis 20 May 2021 13:19 WIB

Ini Penjelasan Kemenlu Soal Vote

Indonesia voting 'no' untuk proses pembahasan R2P, bukan substansinya.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Sidang umum PBB (Ilustrasi)
Foto: AP
Sidang umum PBB (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia memilih "tidak" pada pemungutan suara Majelis Umum PBB untuk resolusi Responsibility to Protect (R2P), Selasa (18/5) waktu setempat. Hal ini menimbulkan perbincangan masyarakat di media sosial. Mengapa Indonesia mengambil sikap seperti itu?

Akun Twitter resmi UN Watch mencicit bahwa terdapat 15 negara, termasuk Indonesia, yang memilih opsi "tidak" atas resolusi tanggung jawab melindungi dan mencegah kejahatan atas kemanusiaan. Negara-negara itu, antara lain, Russia, China, Korea Utara, Republik Arab Suriah, Venezuela, Kirigistan, Nikaragua, Zimbabwe, Burundi, Belarus, Eritrea, Bolivia, Mesir, Kuba, dan Indonesia.

Baca Juga

Gagasan R2P ini merupakan prinsip dan kesepakatan internasional yang bertujuan mencegah pemusnahan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya.

Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Febrian A Ruddyard menjelaskan bahwa pemungutan suara di United Nations General Assambly (Sidang Majelis Umum PBB) pada Selasa (18/5) tersebut dalam kerangka pembentukan agenda baru tahunan dan tidak dilakukan terhadap gagasan R2P itu sendiri.

Voting RI di sini dimaksudkan pada rancangan prosedural resolusinya, bukan pada aspek gagasan R2P. "Ada kesimpangsiuran mengenai resolusi yang kita voting against, jadi sama sekali resolusi ini bukan resolusi substantif, tapi resolusi ini adalah resolusi prosedural, di mana satu negara Kroasia mengusulkan pembahasan mengenai R2P untuk dapat dibahas dalam mata agenda tersendiri," ujar Febrian pada media briefing secara virtual, Kamis (20/5).

Febrian mengatakan, konsep R2P telah diadopsi oleh SMU PBB pada saat adanya World Summit Outcome pada 2005. Pada 2005, RI memberikan suara mendukung resolusi itu.

RI dalam hal ini jelas tidak memiliki posisi berbeda dengan posisi negara-negara lain pada saat menerima konsep R2P. Febrian menjelaskan, kemudian konsep ini diminta untuk dibahas lebih lanjut oleh SMU. "RI menilai R2P tidak membutuhkan agenda tahunan tetap," kata dia.

Sebab, sejak 2009, dia menjelaskan, puluhan debat dan laporan Sekretaris Jenderal telah dihasilkan dan dimungkinkan karena diamanatkan oleh dokumen World Summit Outcome 2005.

Menurut Febrian, setiap proposisi atau ide yang berusaha memperkaya diskusi tentang konsep ini tidak boleh menggagalkan batasan yang ditetapkan oleh dokumen hasil World Summit 2005. "Upaya semacam itu hendaknya tidak melonggarkan, memperluas, atau menciptakan ambang batas atau kriteria yang kreatif dibandingkan yang ditentukan dalam resolusi tersebut," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement