Sabtu 22 May 2021 14:51 WIB

APKS PGRI DKI Jakarta  Gelar Webinar Bahas Isu Palestina

Guru juga harus peka terhadap isu-isu kontekstual.

Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis (APKS) Persatuan Guru Republik Indonesia Provinsi DKI Jakarta menggelar Webinar secara daring dengan tema Ada Apa dengan Israel, Palestina dan Indonesia?, Jumat (21/5).
Foto: Dok PGRI
Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis (APKS) Persatuan Guru Republik Indonesia Provinsi DKI Jakarta menggelar Webinar secara daring dengan tema Ada Apa dengan Israel, Palestina dan Indonesia?, Jumat (21/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis (APKS) Persatuan Guru Republik Indonesia Provinsi DKI Jakarta menggelar Webinar Series Kajian Ilmu Humaniora dan Sosial secara daring dengan tema “Ada Apa dengan Israel, Palestina dan Indonesia?” Webinar ini dilaksanakan pada Jumat (21/5)  pukul 13.30 sampai selesai dan diikuti oleh l121 peserta.

Sumardiansyah Perdana Kusuma, ketua APKS PGRI DKI Jakarta, dalam pengantarnya mengatakan, guru bukan hanya berkutat dengan administrasi di ruang kelas, guru juga bukan hanya sebatas mengajar secara pedagogik, tapi bagaimana guru peka terhadap isu-isu kontekstual.

“Dan kegiatan ini dibuat dalam rangka menumbuhkembangkan pengetahuan dan wawasan guru. Bahwasannya pendidikan itu bukan hal yang bersifat hampa udara. Dia harus keluar dari ruang kelas, berinteraksi dengan lingkungan dalam konteks lokal, nasional, maupun global. Karena agak ironis selama ini kita melihat perdebatan-perdebatan (kontroversi) itu cenderung kontraproduktif. Dilakukan di medsos, melalui WAG (WhatsApp Group) tanpa adanya mentor dan pakar,” kata Sumardiansyah dalam rilis yang diterima Republika.co.id. 

Berangkat dari situ, kata dia,  APKS mencoba mengambil frame, bagaimana memfasilitasi ruang diskusi secara intelektual kepada guru dan masyarakat umum agar dapat melek terhadap perkembangan isu-isu kontekstual. Dan isu kali ini adalah sangat kontektual, terjadi perbincangan di mana-mana mengenai Yerusalem. Yerusalem merupakan kota suci, kota lahirnya para nabi dan kota bertemunya agama samawi. Bangsa Yahudi mengklaim bahwasannya di sana pernah berdiri Solomon Temple (Tembok Ratapan). Dan umat Nasrani mengkultuskan Betlehem sebagai kota lahirnya Almasih dan kemudian menandai awal tahun Masehi. Dan umat Islam juga sangat menghormati kesucian Kota Yerusalem, karena di sana berdiri Masjidil Aqsa, tempat Nabi Muhammad Saw melakukan perjalanan menuju Sidratul Muntaha. 

Kini Yerusalem harus menanggung berjuta derita. Kita membaca di berbagai media beberapa lika-liku penindasan, pembantaian, konflik-konflik, konstelasi ideologi kekuasaan, jeritan tangis, ledakan mortir, letusan molotov, hingga lemparan batu, justeru menjadi pemandangan yang lumrah dilihat. Apakah pastas sebuah kota suci yang diyakini oleh berbagai agama harus mengalami nasib yang sangat ironis. Kesucian kota sekarang dirundung oleh huru-hara, malapetaka, perang saudara, pertumpahan darah dan kebencian yang tak kunjung usai. Masing-masing pihak mengklaim saya adalah pemilik sah tanah leluhur, tanah yang dijanjikan oleh Allah, yang berakibat meletusnya perang saudara, terjadinya kebencian secara turun-temurun, dan masing-masing pihak melegitimasi dan melegalkan arogansi mereka dengan menggunakan dalil-dalil ayat suci yang mereka yakini. Betapa nilai kemanusiaan dan kebudayaan seharusnya mampu merasakan sebagai umat manusia, bukan justeru memecahkannya. Pendekatan ilmu pengetahuan, pendekatan kemanusiaan, pendekatan kebudayaan itu menjadi frame yang diangkat dalam webinar ini, tentang bagaimana membangun jembatan perdamaian antar umat manusia, tegas Sumardiansyah. 

Webinar kali ini menghadirkan tiga narasumber dan dimoderatori oleh Humayarah (APKS PGRI DKI Jakarta). Narasumber pertama, Ridwan Saidi (budayawan), memaparkan tentang bagaimana solidaritas bangsa Indonesia terhadap Palestina”. Narasumber kedua, Imdadun Rahmat (pengamat Timur Tengah/eks ketua Komnas HAM), memberikan penjelasan tentang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh bangsa Yahudi terhadap masyarakat Palestina”. 

Adapun narasumber ketiga, Savran Billahi (mahasiswa Pascasarjana di Universitas Ankara, Turki), memaparkan pandangannya sebagai mahasiswa Timur Tengah melihat konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina.

Acara dibuka secara langsung oleh Adi Dasmin selaku Ketua PGRI Provinsi DKI Jakarta. Dalam sambutannya, Adi Dasmin menyatakan bahwa kegiatan webinar ini merupakan kegiatan yang berbeda dengan kegiatan yang sudah dilakukan oleh PGRI sebelumnya baik secara nasional maupun di DKI Jakarta. Biasanya PGRI mengadakan kegiatan peningkatan kompetensi guru, dan lainnya. Kini PGRI mencoba mengangkat isu-isu global yang ditinjau dari sisi budaya, pendidikan dan sejarah.

“Selamat mendapatkan ilmu baru di luar ke PGRI-an kita. Kini PGRI tidak hanya mampu menambah wawasannya di DKI Jakarta dan di Indonesia saja, tetapi PGRI mampu merambah ke dunia internasional. Webinar  kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh para narasumber,” ujarnya.

Pemaparan pertama oleh Ridwan Saidi (Budayawan) diawali dengan penjelasan mengenai bagaimana solidaritas bangsa Indonesia terhadap Palestina. Bangsa Indonesia sudah sejak dulu mendukung kemerdekaan Palestina. Hal ini terbukti dengan turut berjuangnya para pelajar/mahasiswa Indonesia di Timur Tengah saat perang pertama kali dengan Israel pada tahun 1931. “Indonesia tidak bisa terlepas dengan Palestina. Karena Palestina adalah negara yang pertama kali mendukung kemerdekaan Indonesia,” tegas Ridwan Saidi.

Imdadun Rahmat  memaparkan tentang  bagaimana terjadinya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh bangsa Yahudi terhadap masyarakat Palestina. Menurutnya, ada perebutan tanah bangsa Palestina yang dilakukan oleh para pendatang, Yahudi. Di sana terjadi penindasan dan pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM terjadi sejak awal. Ketika berakhirnya Perang Dunia I yang dimenangkan oleh Inggris dan sekutunya. Karena sebagai pemenang, merasa punya hak, punya klaim untuk mengatur wilayah-wilayah yang dimenangkannya. 

“Nah dibuatlah Deklarasi Balfour 1917 yang isinya menguntungkan bangsa Yahudi dan banyak mengorbankan bangsa Arab Palestina. Tahun 1936 terjadi konflik besar-besaran, mogok besar-besaran dan pada akhirnya melahirkan salah satu Resolusi PBB No. 181 pada tahun. Di mana saat itu PBB sudah menentukan opsi pembagian wilayah Palestina, dipecah menjadi 2 bagian, 56 persen  wilayah untuk bangsa Yahudi dan 44 persen untuk bangsa Arab Palestina. Bagi bangsa Arab tentu ini dianggap sebagai keberpihakan PBB terhadap bangsa Yahudi,” paparnya.

Savran Billahi  memaparkan tentang sikap politik Indonesia dan Turki. Menurutnya, sikap politik Indonesia lebih otentik dan lebih konsisten di banding dengan sikap politik negara Turki. Sikap politik Indonesia dari dulu selalu konsisten berpihak kepada Palestina, sementara sikap politik Turki tidak konsisten keberpihakannya. Turki sendiri berhubungan diplomatic  dengan Israel. “Tapi kali ini Turki, antara Pemerintah dan Oposisi satu suara mengecam keras tindakan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina,” kta Savran.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement