Ahad 30 May 2021 04:31 WIB

Facebook Dikecam karena Iklan Properti Permukiman Ilegal

Facebook dikritik karena biarkan iklan penjualan properti di permukiman ilegal Israel

Rep: Mimi Kartika/ Red: Christiyaningsih
Facebook (ilustrasi)
Foto: REUTERS
Facebook (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Facebook dikritik karena membiarkan iklan penjualan properti di permukiman ilegal Israel tayang di Instagram. Hal ini terjadi di tengah kemarahan yang terus berlanjut atas tuduhan sensor di media sosial terhadap akun milik orang Palestina dalam beberapa pekan terakhir.

Dilansir Middle East Eye pada Jumat (28/5), akun Twitter bernama @fadiquran mencuit tentang iklan yang tayang di Instagram Story. Iklan itu menunjukkan penjualan properti perusahaan Israel di permukiman Tepi Barat yang diduduki di utara Beit Aryeh-Ofarim.

Baca Juga

"Serius @instagram? Platform tidak hanya menyensor suara Palestina, tetapi juga mendapat untung dari penjualan permukiman Israel yang dibangun di atas tanah curian, dengan memungkinkan mereka untuk dipasarkan & dijual di platform. Konsensus internasional adalah permukiman merupakan kejahatan internasional," tulis @fadiquran.

Permukiman Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur melanggar Konvensi Jenewa Keempat yang melarang pemindahan penduduk sipil ke daerah-daerah yang diduduki secara militer. Sekitar 600 ribu warga Israel tinggal di 140 permukiman ilegal di Tepi Barat yang telah diduduki Israel sejak 1967.

Pada tahun 2020, kantor hak asasi manusia PBB (OHCHR) menerbitkan daftar 112 bisnis yang beroperasi di permukiman Israel. Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain Airbnb, Booking.com, Expedia, dan Motorola Solutions. Mereka dituduh mengambil untung dari perdagangan dengan permukiman Israel.

"Laporan tersebut menjelaskan bahwa rujukan ke entitas bisnis ini bukanlah, dan tidak dimaksudkan sebagai, proses yudisial atau kuasi-yudisial," kata OHCHR.

"Meskipun penyelesaian seperti itu dianggap ilegal menurut hukum internasional, laporan ini tidak memberikan karakterisasi hukum dari kegiatan yang dipermasalahkan, atau keterlibatan perusahaan bisnis di dalamnya," kata OHCR.

Di tengah meningkatnya kekerasan baru-baru ini, seruan boikot dan sanksi terhadap Israel dan perusahaan yang diuntungkan dari pelanggaran hukum internasional terus mengemuka. Facebook dan perusahaan media sosial lainnya menghadapi tekanan yang meningkat setelah eskalasi mematikan baru-baru ini di Israel dan Palestina yang telah menggugurkan sekitar 292 orang.

Twitter, TikTok, Instagram, dan Facebook semuanya dituduh melarang, memblokir, atau membatasi akun yang menerbitkan foto-foto pengeboman Israel terhadap warga sipil di Jalur Gaza yang terkepung. Jejaring sosial juga dituduh membatasi unggahan yang menyertakan kata-kata atau tagar "Palestina", "perlawanan", "Israel", "Hamas", dan "al-Aqsa".

Dalam upaya untuk mengalahkan algoritma, aktivis dan pengguna media sosial lainnya telah mengambil langkah untuk tidak menulis kata-kata "Israel" atau "Palestina". Mereka juga menghindari penggunaan font Arab alternatif karena khawatir unggahan mereka dapat ditekan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement