REPUBLIKA.CO.ID, — Lobi Yahudi mencakup berbagai organisasi berpengaruh, seperti American Israel Public Affairs Committee(AIPAC), Conference of Presidents of Major American Jewish Organizations (CoP), Anti-Defamation League, Christians Zionist Group.
Selain itu, ada Christians United for Israel, Washington Institute for Near East Policy (think tank), dan berbagai media, seperti Weekly Standard dan New Republic.
Lobi Yahudi mendukung politisi Amerika Serikat dalam pemilu, dengan imbalan mereka bersimpati pada Israel. Juga memberikan insentif kepada pemegang jabatan publik agar mereka membantu kepentingan Israel.
Menurut Mearsheimer dan Walt (2008), uang tak diberikan langsung, tapi dalam bentuk bantuan kampanye. Meski tak semua calon yang didukung lobi Yahudi menang pemilu, politisi di Kongres Amerika Serikat paham betul, sikap anti-Israel akan menyulitkan karier politik mereka.
Strategi lain yang ditempuh lobi Yahudi adalah memengaruhi wacana dan persepsi publik, agar simpati warga Amerika Serikat besar kepada Israel. Dalam kaitan ini, banyak media Amerika Serikat sangat pro-Israel, terutama dalam kolom editorial dan opini mereka.
Lobi Yahudi juga "mengganyang" opinion makers yang berani bersikap kritis terhadap Israel, mengecap mereka anti-Semit, serta menyempitkan ketersediaan ruang media cetak dan elektronik bagi para pengkritik Israel itu.
Dampak kebijakan
Mearsheimer dan Walt (2008) menganalisis, lobi Yahudi berdampak buruk pada kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Sebagai contoh, pembiaran Amerika Serikat terhadap upaya Israel membangun permukiman ilegal di wilayah pendudukan di Palestina, menyebabkan kemarahan masyarakat Timteng dan berujung peningkatan serangan teror terhadap Amerika Serikat.
Termasuk serangan "911" terhadap gedung WTC di New York pada 2001. Lobi Yahudi pun menjerumuskan Amerika Serikat pada "strategic blunder" di Irak akibat melengserkan Presiden Saddam Hussain.
Akibatnya, Amerika Serikat terpaksa melakukan "state building" di Irak, berbiaya mahal, sangat menguras tenaga, dan justru memperbesar pengaruh Iran di kawasan.
Bagaimana mengoreksi "bias" Amerika Serikat ini? Menurut Mearsheimer dan Walt (2008), Amerika Serikat mesti berhenti "memanjakan" dan memperlakukan Israel sebagai "a normal country" seperti relasi Amerika Serikat dengan Inggris, Prancis, Jerman, dan India (sesama negara demokrasi).
Terkait konflik Palestina-Israel, Amerika Serikat harus menjadi penengah yang adil (honest broker). Sebab, hanya dengan sikap ini, konflik tersebut bisa diselesaikan.
Opini akar rumput
Bagaimana pandangan rakyat Amerika Serikat? Dari berbagai survei, tampak dukungan luas rakyat Amerika Serikat pada Israel, tetapi juga tak ingin dukungan itu tanpa syarat.
Dalam jajak pendapat oleh Anti-Defamation League (2005), 78 persen responden berpendapat, Amerika Serikat harus bersikap adil dalam konflik Palestina-Israel.
Survei American for Peace Now (2007) menyebut, 87 persen Yahudi Amerika mendukung "solusi dua negara".
Pada survei oleh Universitas Maryland (2003), 70 persen responden setuju Amerika Serikat memotong bantuan untuk Israel jika menolak penyelesaian konflik secara adil.
Saat ini, rakyat Amerika Serikat condong melihat krisis di Gaza dalam perspektif racial justice, tecermin dari tagline, "Palestinian lives matter" seperti halnya "blacklives matter".
Dalam kaitan ini, the New York Times (15 Mei 2021) mengabarkan, protes faksi sayap kiri Partai Demokrat, yang menuntut Presiden Joe Biden lebih serius menghentikan kebrutalan Israel.
*Kutipan artikel Yuri O Thamrin, Dubes RI untuk Belgia, Luksemburg, dan UE Periode 2016-2020 dengan judul "AS dan Lobi Yahudi" yang tayang di Harian Republika, Sabtu 22 Mei 2021.