Jumat 09 Jul 2021 21:07 WIB

Pembatasan Ketat, Panic Buying Terjadi di Asia Tenggara

Pembatasan Covid-19 yang terbaru di negara-negara Asia Tenggara menciptakan kepanikan

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
Seorang tentara bersenjata berjaga di luar area perumahan kepadatan tinggi yang ditempatkan di bawah perintah kontrol gerakan yang ditingkatkan (EMCO) karena peningkatan drastis jumlah kasus COVID-19 yang tercatat di Sunway, di pinggiran Kuala Lumpur, Malaysia, Jumat, 2 Juli , 2021.
Foto: AP/Vincent Thian
Seorang tentara bersenjata berjaga di luar area perumahan kepadatan tinggi yang ditempatkan di bawah perintah kontrol gerakan yang ditingkatkan (EMCO) karena peningkatan drastis jumlah kasus COVID-19 yang tercatat di Sunway, di pinggiran Kuala Lumpur, Malaysia, Jumat, 2 Juli , 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pembatasan Covid-19 yang terbaru di negara-negara Asia Tenggara menciptakan kepanikan di berbagai wilayah. Angka kasus dan kematian karena Covid-19 semakin meningkat di kawasan tersebut.

Di Ho Chi Minh City, Vietnam misalnya, kekhawatiran akan lockdown atau karantina wilayah Covid-19 mendorong panic buying atau kepanikan membeli di beberapa supermarket. Terjadi pula penurunan empat persen dalam indeks saham utama pada Selasa lalu.

Baca Juga

Kota berpenduduk sembilan juta itu sebelumnya telah dikenai pembatasan perjalanan selama sebulan. Namun tingkat infeksi terus meningkat dengan catatan lebih dari 9.400 kasus terdaftar.

Ibu kota Vietnam, Hanoi, juga menghentikan transportasi umum dari tempat-tempat dengan kelompok infeksi untuk melindungi diri dari wabah di pusat komersial selatan. Beberapa pembatasan ketat negara itu juga sudah berlaku mulai Jumat (9/7).

Penduduk Kota Ho Chi Minh kini dilarang berkumpul dalam kelompok yang lebih besar di depan umum. Orang-orang hanya diperbolehkan meninggalkan rumah untuk membeli makanan, obat-obatan, dan dalam keadaan darurat.

Ahli epidemiologi di Griffith University Dicky Budiman mengatakan wilayah tersebut tengah berjuang untuk mengatasi varian delta. Menurutnya, wilayah itu juga harus menghadapi akibat dari inkonsistensi dalam strategi dan pengiriman pesan serta penegakan protokol.

Dia juga menyebutkan perlunya memperluas jangkauan vaksin untuk melindungi populasi dengan lebih baik. Dominasi vaksin Sinovac terjadi di Vietnam karena diplomasi vaksin China ketika merek Barat tidak tersedia.

"Vaksin pasti ada manfaatnya, tapi ada juga sisi lemahnya. Kenapa? Dalam menangani pandemi dalam skala yang lebih besar,  vaksin tidak bisa berdiri sendiri," katanya seperti dilansir laman Channel News Asia, Jumat (9/7).

"Vaksin perlu didiversifikasi. Sumber daya perlu didiversifikasi," ujarnya menambahkan.

Di tempat lain seperti Indonesia, tingkat vaksinasi masih rendah. Sekurangnya 5,4 persen dari 270 juta penduduk Indonesia telah divaksin penuh. Sementara baru sekitar 2,7 persen orang di Filipina dan 4,7 persen dari populasi di Thailand menerima vaksin Covid-19.

Malaysia telah memvaksinasi 9,3 persen dari 32 juta penduduknya. Negara tersebut juga telah memberlakukan karantina yang ditingkatkan di ibu kota dan sabuk industrinya.

Indonesia dan Thailand stengah mempertimbangkan suntikan booster dengan vaksin mRNA, seperti yang dilakukan Moderna dan Pfizer-BioNTech/Cominarty, untuk pekerja medis di tengah kekhawatiran tentang resistensi mereka terhadap varian. Sebelumnya sebagian besar telah menerima vaksin virus tidak aktif buatan China dari Sinovac.

Singapura adalah salah satu dari sedikit titik terang. Pihak berwenangnya diharapkan untuk lebih melonggarkan pembatasan dan menyelesaikan imunisasi setengah dari populasi akhir bulan ini. Negara tersebut juga berencana untuk mengizinkan penduduk yang divaksinasi penuh untuk menghadiri pertemuan yang lebih besar seperti konferensi, ibadah jemaat, dan perayaan pernikahan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement