REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL - Sejumlah pejabat senior Turki mengecam langkah presiden Tunisia merebut kekuasaan eksekutif penuh setelah memecat perdana menteri dan menangguhkan parlemen.
Presiden Tunisia Kais Saied memberhentikan pemerintahan Perdana Menteri Hichem Mechichi pada Minggu malam, membekukan parlemen, dan mengambil alih otoritas eksekutif dengan bantuan perdana menteri baru.
Dalam pidatonya, Saied mengatakan akan mencabut kekebalan semua anggota parlemen dan mengambil peran sebagai jaksa penuntut umum.
Dia mengatakan dia mengambil keputusan ini setelah berkonsultasi dengan Mechichi dan Ketua Parlemen Rached Ghannouchi.
"Apa yang terjadi di Tunisia mengkhawatirkan. Keputusan yang melarang parlemen terpilih dan anggota parlemen untuk memenuhi tugas mereka adalah kudeta terhadap tatanan konstitusional," kata Ketua Parlemen Turki Mustafa Sentop lewat Twitter.
Sentop mengatakan kudeta militer/birokratis di Tunisia tidak sah seperti di negara lain dan rakyat Tunisia akan berpegang pada tatanan konstitusional dan hukum.
Juru bicara kepresidenan Turki juga menolak penangguhan proses demokrasi dan pengabaian kehendak demokratis rakyat di Tunisia.
"Kami mengutuk inisiatif yang tidak memiliki legitimasi konstitusional dan dukungan publik. Kami percaya bahwa demokrasi Tunisia akan muncul lebih kuat dari proses ini," kata Ibrahim Kalin melalui Twitter.
Omer Celik, juru bicara Partai Keadilan dan Pembangunan (AK) Turki, menggambarkan perkembangan saat ini di Tunisia sebagai kudeta yang menargetkan legitimasi politik di negara itu.
Celik menambahkan bahwa Turki mendukung rakyat Tunisia dan menghormati perjuangan untuk demokrasi.
Dia juga menegaskan dukungan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan untuk demokrasi di negara itu.
Sementara itu, Numan Kurtulmus, wakil ketua partai AK menekankan bahwa Turki menentang semua kudeta.
“Kami melihat bahwa kudeta di Tunisia akan merugikan rakyat Tunisia. Sebagai Turki, kami menentang tindakan anti-demokrasi ini sepenuhnya," tambah dia.
Tunisia telah menyaksikan serangkaian protes rakyat terhadap pemerintah dan oposisi, dengan sejumlah serangan di markas besar dan gedung-gedung partai Islam moderat Ennahda di sejumlah provinsi.
Sejak Januari, negara itu berada dalam kebuntuan politik di tengah perselisihan antara Saied dan Mechichi atas perombakan pemerintah yang ditolak oleh Saied.
Negara itu juga menghadapi krisis ekonomi dan lonjakan kasus Covid-19 di tengah kemungkinan kolapsnya sistem kesehatan negara.