REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Ada apa dengan Indonesia hari ini? Pertanyaan ini kembali muncul. Dahulu di tayangan Indonesia Lawyer Club, pernyataan ini diajukan ketika kasus prank Ratna Sarumpaet meledak.
Tak beda dengan Anhar, saya pun cemas melihat peristiwa ini. Layaknya makan permen aneka rasa, kali ini terasa ada yang manis, kecut, bahkan sangat kecut.
Suara desah dari Anhar Gonggong tentang nasib bangsa jadi "mainan" sangat terasa. Lamat-lamat kemudian teringat kala dia menceritakan kejadian serupa berupa olok-olok, bikin berita palsu, alias yang lazim di zaman yang katanya milenial ini disebut ngeprank. Semuanya jadi terasa getir sekali.
Sebelum ini sudah ada orang yang ditangkap karena bikin tayangan olok-olok di media sosial dengan membagi-bagikan sampah yang dibungkus bingkisan sembako. Di masa pandemi virus asal Wuhan, China, perilaku ini sungguh menyakitkan dan sangat menyakitkan nurani. Tak beradab.
Dan kini, prank atau olok-olok terjadi. Kali ini ada keluarga mendiang yang konon seorang pengusaha di Palembang, Akidi Tio, mem-prank Indonesia dengan olok-olok memberikan sumbangan sebesar Rp 2 triliun. Tak tanggung-tanggung, orang penting banyak yang terkesima. Para jurnalis senior pun terkesima. Kenyataannya, hari ini putri dari Akido yang menyatakan akan memberikan sumbangan itu digelandang polisi Palembang. Dikabarkan, ketika bertemu wartawan yang meminta konfirmasi, dia berusaha menutupi wajahnya. Apakah merasa malu? Wallahu'alam.
******
Bila menurut data sejarah yang saat itu dipaparkan Anhar, sebenarnya tak terlalu terkejut. Presedennya banyak. Di zaman penguasa atau rezim yang lalu selalu ada. Pada masa Presiden Sukarno, ada kisah Markonah dan Raja Idrus. "Ya, lucu memang. Tapi, ada apa dengan yang kali ini?'' tukas Anhar Gonggong saat itu.
Maka, baiklah kita buka kisah "lucuan" konyol tersebut satu per satu.
Awalnya, di mulai nun di tahun 1950-an saat muncul kehebohan nasional ketika ada sepasang suami-istri diterima Presiden Sukarno di Istana Negara. Orang itu adalah sejoli yang mengaku sebagai raja dan ratu dari Anak Dalam, Jambi: Raja Idrus dan Ratu Markonah. Dia berhasil masuk ke istana atas saran seorang pejabat agar Bung Karno berkenan menemuinya. Saran ini sangat muluk, yakni karena raja dan ratu ini punya kekuatan tertentu yang bisa membantu pembebasan Irian Barat.
Tentu saja Sukarno yang lagi punya obsesi mengusir Belanda di Irian Barat (Papua saat ini) menyambutnya dengan gembira. Media massa kala itu terkena euforia dan antusias menyambutnya. Dua koran kala itu, yakni Masa Marhaen dan Duta Masyarakat, memajang foto sang raja dan ratu bersama Bung Karno di halaman depan. Saran dari seorang pejabat terbukti. Di foto yang ada di koran itu dipasang keterangan: Raja Idrus dan Ratu Markonah akan membantu Indonesia membebaskan Irian Barat. Apalagi, foto itu menarik karena keduanya mengenakan kacamata hitam.
Laksana air bah, keterpesonaan kepada sosok Raja Idrus dan Ratu Markonah melimpah ruah. Pasangan ini menjadii pesohor baru dadakan. Para pejabat antusias menyalami. publik pun ikut terkesima. Apalagi sosok Ratu Markonah, lumayan cantik meski punya sedikit cacat di bagian mata.
Sosok pasangan ini laku keras bak pisang goreng. Jurnalis pun sibuk meliput dan publik di mana-mana mengajaknya berfoto.
Gosip (kalau hari ini disebut dengan hoaxs) pun menyebar. Ada berita dan desas-desus bahwa keduanya diberi uang saku lumayan gede, menginap gratis di hotel mewah, hingga makan free di restoran elite. Bahkan, dikabarkan mereka dijamu bukan hanya sehari dua hari saja, tapi sampai berpekan-pekan lamanya. Keren sekali!
Celakanya, nasib mujur Raja Idrus dan Ratu Markonah kemudian terbongkar. Kala itu, kedua sejoli ini tengah asyik berpesiar dan shopping barang mewah dan cendera mata di sebuah pusat belanja di Jakarta. Tampaknya tanpa mereka sadari kini datang hari sial itu. Ini akibat ada seseorang yang mengenali sosoknya sebagai imbas mereka menjadi seorang pesohor dadakan. Kala itu, ada seorang tukang becak yang mengenali Raja Idrus di pasar. Ia katakan bahwa dia itu adalah temannya yang juga sama-sama penarik becak.
Celakanya lagi, apa yang dikatakan sang penarik becak soal asal-usul Raja Idrus terendus wartawan. Galibnya seorang jurnalis, dia mencoba menelusuri kebenaran itu. Alhasil, setelah mengurai kabar kusut, jejak Raja Idrus diketahui. Dia ternyata memang seorang tukang becak dan sang permasurinya adalah seorang pelacur kelas teri. Dan si perempuan bukan dari suku Anak Dalam di Jambi, melainkan "wong Tegal".
Nama Markonah ini kemudian abadi sebagai sosok peyorasi karena disandingkan dengan sebutan mengolok lelaki yang di masa kini kurang gaul dengan disebut "mukidi'. Selain itu, nama dan kisah Raja Idrus dan Ratu Markonah juga berjejak pada lagu penyanyi tersohor kala itu, Teti Kadi, yang bertajuk "Raja Idrus".
Uniknya, penulis muda sejarah Beggy Rizkiansyah yang meneliti kasus ini menemukan fakta lain. Beberapa tahun kemudian disebutkan, Harian Kompas edisi 9 Agustus 1968 memberitakan “Raja” Idrus ditangkap di Kotabumi, Lampung, karena mengaku sebagai anggota Intel Kodam V Jaya. Sedangkan, Markonah seperti diberitakan Kompas 21 Agustus 1968, sedang menjalani hukuman akibat terlibat dalam prostitusi di Pekalongan, Jawa Tengah. (Kompas, 26 Februari 2017)