Selasa 03 Aug 2021 16:48 WIB

Berdosakah Orang yang Mengabaikan Prokes Covid-19?

Prokes Covid-19 merupakan kesepakatan pemerintah, ulama, dan pakar.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Berdosakah Orang yang Mengabaikan Prokes Covid-19? Foto:  ilustrasi menjalankan protokol kesehatan.
Foto: Antara/Abriawan Abhe
Berdosakah Orang yang Mengabaikan Prokes Covid-19? Foto: ilustrasi menjalankan protokol kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pakar ushul fiqih dari Ma'had Aly Salafiyah Syafi'iyah, Situbondo, Jawa Timur, KH Afifuddin Muhajir menyampaikan penjelasan soal hukum mematuhi protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19. Dia mengawali pemaparannya dengan mengatakan bahwa Islam mengajarkan dua hal yang harus sama-sama dijalankan umat Islam, yaitu tawakal dan ikhtiar.

Tawakal berarti pasrah kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana firman-Nya: "Katakanlah, 'Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan'" (QS al-Jumu'ah ayat 8).

Baca Juga

"Karena itulah, kita yakin bahwa segala-galanya itu Allah SWT yang menentukan," kata Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu kepada Republika.co.id, Selasa (3/8).

Selain itu ada pula ajaran ikhtiar. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Hendaklah kamu lari dari orang yang punya penyakit lepra (atau kusta), sebagaimana lari dari singa." Kiai Afifuddin memaparkan, hadits tersebut memerintahkan untuk menjauh dari orang yang punya penyakit menular.

Namun, dia menambahkan, lepra dan virus corona tentu berbeda. Lepra kasatmata, sedangkan corona tidak kasatmata. Untuk itulah ada protokol kesehatan (prokes) untuk melindungi diri sendiri agar tidak tertular dari orang lain dan untuk melindungi orang lain agar tidak tertular dari kita.

"Itu sebetulnya ajaran agama. Tanpa ada aturan dari negara pun kita wajib menjalani prokes itu. Sekarang juga diwajibkan oleh negara. Sesuatu yang dari sananya (syariat Islam) sudah wajib, kalau diwajibkan oleh negara maka menjadi tambah wajib," ucapnya.

Kaidahnya adalah, "Apa yang diperintahkan oleh pemerintah, kalau menurut syariat itu sudah wajib, maka akan menjadi tambah wajib ketika diwajibkan oleh negara. Jika menurut syariat suatu perkara itu sunnah, lalu diwajibkan oleh negara, maka perkara tersebut menjadi wajib. Dan jika secara syariat itu mubah (boleh), kemudian diwajibkan oleh negara, maka menjadi wajib kalau di dalamnya mengandung kemaslahatan."

Kiai Afifuddin membuat perumpamaan dengan aturan lalu lintas. Aturan ini jelas tidak ada dalam syariat, tetapi jika ini ditaati akan mendatangkan maslahat sehingga wajib ditaati. Dan ketika ini dilakukan maka dihitung sebagai pahala tentunya dengan niat karena Allah Ta'ala.

Apalagi, Kiai Afifuddin melanjutkan, umat Islam diperintahkan untuk taat selain kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, juga kepada ulil amri, yang dalam konteks kenegaraan adalah pemerintah. Sedangkan, ulil amri dalam agama adalah ulama, dan dalam kesehatan adalah pakar kesehatan.

"Sekarang ada sinergitas antara pemerintah, ulama, dan pakar kesehatan, yang telah bersepakat tentang protokol kesehatan. Jadi, kalau ini dilakukan dengan niat taat kepada Allah, ada pahalanya. Dan jika mengabaikannya bisa menjadi dosa," tuturnya.

Menurut Kiai Afifuddin, bila protokol kesehatan ini ditaati oleh setiap orang, tentu keadaannya tidak akan menjadi seperti sekarang. "Ini memburuk karena banyak yang tidak mematuhi protokol kesehatan," tuturnya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement