Sabtu 04 Sep 2021 04:01 WIB

Bertaruh Nasib Bersama Taliban di Afghanistan

Warga Afghanistan dan dunia menunggu realisasi janji-janji Taliban.

 Pasukan Taliban berkumpul untuk merayakan penarikan pasukan AS di Kandahar, Afghanistan, 1 September 2021. Taliban menyerukan dukungan dari masyarakat internasional untuk menghidupkan kembali ekonomi yang hancur akibat konflik selama dua dekade dan sangat bergantung pada bantuan asing.
Foto: EPA-EFE/STRINGER
Pasukan Taliban berkumpul untuk merayakan penarikan pasukan AS di Kandahar, Afghanistan, 1 September 2021. Taliban menyerukan dukungan dari masyarakat internasional untuk menghidupkan kembali ekonomi yang hancur akibat konflik selama dua dekade dan sangat bergantung pada bantuan asing.

Oleh : Nuraini, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Keluarnya pasukan Amerika Serikat pada 31 Agustus 2021 menandai momentum pertaruhan bagi nasib Afghanistan. Taliban yang semula berperang dengan AS kini memiliki kendali atas kekuasaan di negara itu. Nasib warga negara Afghanistan berada di tangan Taliban yang akan membentuk pemerintahan di bawah pimpinan Mullah Baradar.

Sejak Taliban menguasai Kabul pada 15 Agustus 2021 dan merebut kekuasaan, warga setempat khawatir Afghanistan akan kembali ke masa pemerintahan 1996 hingga 2001. Saat itu, Taliban menguasai Afghanistan dengan menerapkan aturan ketat seperti larangan perempuan bekerja, pemberlakuan hukuman rajam, cambuk, dan gantung. Banyak warga Afghanistan yang kemudian mencoba keluar dari negaranya melalui bandara Kabul usai pemerintahan Presiden Ashraf Ghani mundur dan melarikan diri.

Sebagian warga Afghanistan dievakuasi bersama pasukan asing yang menarik diri. Mereka adalah warga Afghanistan beserta keluarganya yang bekerja untuk pasukan asing. Selain itu, ada jurnalis dan aktivis yang dinilai keamanannya terancam oleh Taliban jika tetap berada di Afghanistan. AS telah mengevakuasi lebih dari 120 ribu orang yang di antaranya 6.000 warga AS dari Afghanistan sejak pertengahan Agustus. Sementara, Inggris mengevakuasi 15 ribu orang dari Afghanistan. Negara-negara lain seperti Kanada, Jerman, Prancis, Selandia Baru, India, Turki, dan Uni Emirat Arab juga mengevakuasi ribuan warga.

Sejumlah negara mengatakan proses evakuasi warga yang memenuhi dokumen perjalanan akan terus dilakukan meski pasukan AS telah resmi keluar dari Afghanistan. AS berencana mengevakuasi warga yang masih tertinggal di Afghanistan melalui jalur darat. Negara-negara lain juga berupaya tetap mengevakuasi warga dari Afghanistan. Akan tetapi, pertanyaan yang tersisa, bagaimana nasib warga Afghanistan yang tetap tinggal di bawah kekuasaan Taliban?

Usai menguasai Kabul, Taliban membuat janji membentuk pemerintahan inklusif dan lebih moderat dalam memimpin Afghanistan. Taliban menyebut akan menghormati hak-hak perempuan untuk bekerja dan bersekolah. Meskipun, Taliban menekankan akan menerapkan hukum versi kelompok tersebut. Taliban juga akan memaafkan siapa yang melawan mereka termasuk polisi dan tentara Afghanistan. Selain itu, Taliban menjanjikan keamanan warga asing yang berada di Afghanistan. Akan tetapi, warga Afghanistan sendiri skeptis dengan janji Taliban tersebut mengingat pada masa lalu pemerintahan kelompok tersebut dijalankan dengan aturan yang keras. Warga Afghanistan juga takut Taliban akan membalas dendam pada warga atau kelompok yang sebelumnya melawan.

Taliban memang menampakkan wajah yang berbeda usai menguasai Afghanistan. Mereka menyatakan ingin tetap berhubungan baik dengan AS dan dunia. AS dan Inggris yang sebelumnya melawan Taliban juga membuka dialog dengan kelompok ini terutama untuk melanjutkan evakuasi. Meski menjalin dialog, negara-negara tersebut enggan untuk mengakui kekuasaan Taliban. Mereka masih curiga apakah Taliban akan memenuhi janji-janjinya saat memerintah Afghanistan.

Realisasi janji Taliban tidak otoriter dalam memerintah Afghanistan memang menjadi satu-satunya harapan bagi banyak negara. Banjir pengungsi dari Afghanistan serta krisis kemanusiaan dikhawatirkan terjadi di Afghanistan jika Taliban kembali ke gaya pemerintahan lama. PBB telah memperingatkan sekitar  sepertiga warga Afghanistan menghadapi rawan pangan. Sebanyak 18 juta atau setengah populasi Afghanistan membutuhkan bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup.

Pemerintahan Taliban disebut akan mengikuti model Iran yaitu memiliki presiden, kabinet, dan pemimpin tertinggi. Mullah Baradar, kepala kantor politik Taliban dilaporkan akan memimpin pemerintahan baru Afghanistan. Sementara, pemimpin Taliban, Hibatullah Akhundzada akan memegang otoritas tertinggi. Kini nasib warga Afghanistan yang tak mampu melarikan diri atau memilih tinggal di Afghanistan tergantung pada realisasi janji-janji pemimpin Taliban. Evakuasi tidak bisa menjadi jalan satu-satunya untuk penyelamatan warga Afghanistan. Hal itu karena negara mana yang mau menanggung hidup seluruh warga negara itu jika bukan Afghanistan sendiri?

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement