Kereta Connecting Europe Express (CEE) berangkat dari Lisbon, Portugal, pada Kamis untuk memulai perjalanan 20.000 kilometer melintasi benua Eropa. CEE merupakan aspirasi lalu lintas kereta api Uni Eropa, tapi bukan berarti sistem ini luput dari tantangan.
Tantangan pertamanya akan muncul beberapa hari setelah keberangkatan, di mana sebuah kereta baru akan dibutuhkan di perbatasan Prancis, karena akan menemui ukuran rel yang berubah.
Ukuran rel kereta adalah salah satu kendala tertua dalam hal perlintasan kereta api di perbatasan Eropa dan menjadi bagian dari masalah yang lebih besar, di mana belasan jaringan kereta api dikembangkan secara independen, tidak jelasnya aturan penumpang, sistem tiket, hingga jadwal.
Uni Eropa meyakini tren sedang bergeser. Undang-undang mendorong jaringan nasional kereta untuk berkompetisi. Semakin banyak wisatawan juga memilih kereta api sebagai alternatif moda transportasi.
"Kereta api memiliki keuntungan besar," kata Carlo Borghini, Direktur Eksekutif Shift2Rail, donatur yang mendanai banyak proyek investasi Uni Eropa. "Namun, jika rel kurang dimanfaatkan karena sejumlah hambatan yang masih ada, maka jelas keuntungan ini hilang."
Iklim untuk ekspansi bisnis transportasi
Connecting Europe Express dimaksudkan untuk menyoroti keunggulan tersebut. Dengan hanya satu armada, para pelancong tidak lagi membutuhkan tiga kereta terpisah untuk melintasi 26 negara di Uni Eropa.
Brussels meyakini saat ini adalah momen yang tepat untuk memajukan transportasi umum tertuanya. Strategi mobilitas masa depan yang dirilis akhir tahun lalu menyerukan pergeseran luas ke kereta api. Pada akhir dekade, UE ingin menggandakan jumlah kereta api berkecepatan tinggi di seluruh benua, dengan fokus menghubungkan kota-kota besar.
Paket legislatif terbaru UE untuk operator kereta api juga mulai berlaku tahun 2021. Aturan baru dimaksudkan untuk memajukan persaingan di sektor ini, sehingga memungkinkan operator yang berbasis di satu negara anggota untuk beroperasi di seluruh blok.
Rel kereta menyumbang kurang dari 1% gas rumah kaca di UE. Sebagai perbandingan, perjalanan menggunakan pesawat menyumbang 3,8%. Perbedaan tersebut dipilih oleh Brussels dan diperhitungkan lebih banyak penumpang yang akhirnya bepergian melalui darat.
"Kami melihat orang-orang yang ingin mengurangi dampaknya terhadap perubahan iklim menginginkan alternatif selain terbang," kata pakar kereta api Mark Smith kepada DW.
Perjalanan di malam hari
Smith, yang menjalankan situs online The Man in Seat 61, mengikuti perkembangan kereta malam di Eropa. Setelah menjadi pokok lanskap kereta api Eropa, rute malam hari menyusut karena kereta api berkecepatan tinggi memangkas waktu perjalanan dan maskapai penerbangan murah membuat terobosan besar.
Sekarang, hanya beberapa tahun setelah operator besar seperti Deutsche Bahn mengoperasikan kereta tidur mereka, kereta malam mulai berubah haluan.
Operator kereta api Austria BB memulai rute baru Wina-Amsterdam pada musim panas ini dan berencana untuk membuka tiga rute lagi pada tahun 2023, termasuk perjalanan ke Paris dan Roma. Perusahaan mengatakan rute malam saat ini sering kebanjiran pesanan. Pihaknya berharap dapat menggandakan kapasitas penumpang pada tahun 2025.
Pemain yang lebih kecil juga terlibat. Operator Swedia Snalltaget membuka rute malam antara Stockholm dan Berlin. Startup Belanda, European Sleeper, bermitra dengan perusahaan kereta api yang ada untuk membentuk jaringan kereta malamnya sendiri. Rute malam pertama antara Belgia dan Praha ditetapkan untuk awal April mendatang.
Menjalin koneksi untuk operasional yang lebih baik
Menyatukan jadwal dan prosedur tiket yang berbeda dapat melancarkan perjalanan dan mengurangi kemungkinan penundaan. Sebagai Kepala Shift2Rail, Borghini mengawasi dana €900 juta (Rp 15,2 triliun) guna mempercepat proyek teknis yang diperlukan untuk kereta api yang lebih efisien, dari skrup kereta otomatis, teknologi pengurangan kebisingan hingga infrastruktur sinyal masa depan.
"Kita perlu memiliki sesuatu seperti manajemen lalu lintas udara, sebuah sistem yang terintegrasi," kata Borghini.
Teknologi seperti pelacakan satelit waktu nyata dan otomatisasi menawarkan solusi baru, katanya. Investasinya cukup besar, tetapi banyak negara yang tertarik. Borghini mengatakan beberapa anggota UE sedang mempertimbangkan menggunakan dana pemulihan pandemi untuk ekspansi kereta api.
"Jika Anda ingin memiliki konsep mobilitas yang berbeda, mobilitas berkelanjutan, kita perlu melakukannya dekade ini,” katanya. "Jika tidak, solusi lain akan datang."
(ha/ts)