Ahad 05 Sep 2021 16:39 WIB

Dokter Ungkap Penyebab Terbesar Obesitas, Apa Itu?

Penyebab obesitas adalah kalori yang masuk ke tubuh lebih banyak dari dipakai.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Friska Yolandha
Pria obesitas. Obesitas diketahui dapat meningkatkan risiko beragam penyakit seperti diabetes, penyakit jantung, kanker, hingga demensia.
Foto: EPA
Pria obesitas. Obesitas diketahui dapat meningkatkan risiko beragam penyakit seperti diabetes, penyakit jantung, kanker, hingga demensia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Obesitas telah menjadi epidemi pada banyak negara di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan mencatat ada lebih dari empat juta kematian per tahun akibat kegemukan atau obesitas pada 2017. Obesitas diketahui dapat meningkatkan risiko beragam penyakit seperti diabetes, penyakit jantung, kanker, hingga demensia.

"Untuk menentukan apakah seseorang obesitas, kita melihat indeks massa tubuhnya (IMT)," jelas ahli bedah bariatrik dan direktur medis dari MemorialCare Surgical Weight Loss Center Mir Ali MD, seperti dilansir Eat This.

Mengacu pada klasifikasi internasional, IMT yang normal berkisar di angka 18,5-22,9. IMT yang tergolong dalam kategori kegemukan adalah 23-24,9. Sedangkan IMT dalam kategori obesitas kelas I adalah 25-29,9 dan untuk obesitas kelas II adalah 30 ke atas.

Klasifikasi ini sedikit berbeda pada orang Indonesia. Klasifikasi nasional IMT menurut Kementerian Kesehatan RI adalah 18,5-25 untuk IMT normal. IMT untuk kategori gemuk ringan adalah 25,1-27 dan kategori untuk gemuk berat adalah 27 ke atas.

"(Orang yang tergolong obesitas) mereka berisiko untuk mengalami masalah kesehatan karena berat badan mereka," ungkap Ali.

Penyebab tersering kegemukan dan obesitas adalah kalori yang masuk ke dalam tubuh lebih besar daripada kalori yang digunakan. Kecenderungan ini berkaitan sangat erat dengan kualitas pola makan dan kebiasaan sehari-hari tiap orang.

"(Misalnya kebiasaan) mengemil rutin," jelas profesor di bidang ilmu kedokteran dari Harvard Medical School JoAnn Manson MD DrPH.

Manson mengatakan tidak semua kalori diciptakan setara. Sebagian makanan yang melalui banyak proses cenderung memiliki banyak kalori namun tidak memberikan rasa kenyang yang optimal. Beberapa contohnya adalah karbohidrat sederhana, makanan manis, makanan cepat saji, dan cemilan kemasan. Bila dikonsumsi, makanan seperti ini cenderung akan mendorong seseorang untuk makan lebih banyak dan terus-menerus makan.

"Makanan seperti ini cenderung tak memberikan perasaan kenyang, oleh sebab itu Anda cenderung makan berlebih," ungkap Manson.

Para ahli menilai tak ada cara pintas untuk bisa menurunkan berat badan pada kasus obesitas. Salah satu kunci untuk menurunkan berat badan pada kasus obesitas adalah mengonsumsi lebih sedikit kalori.

"Hampir semua pengaturan pola makan (diet) akan bekerja (untuk menurunkan berat badan) bila diet itu membantu Anda mengonsumsi lebih sedikit kalori," ungkap Harvard Medical School.

Salah satu pengaturan pola makan yang dianjurkan untuk mencegah dan mengatasi obesitas adalah diet Mediterania. Diet Mediterania merupakan pengaturan pola makan yang berfokus pada konsumsi buah, sayur, ikan, dan minyak zaitun.

Diet Mediterania juga rendah akan konsumsi daging merah, daging olahan, dan makanan proses. Untuk cemilan, diet Mediterania memiliki beragam opsi yang sehat seperti kacang, buah, sayur tak bertepung, dan yogurt.

"Kualitas diet jauh lebih penting dibandingkan kuantitas kalori," pungkas Manson.

Pada orang yang sudah terlanjur obesitas, fokus utama yang perlu diraih adalah berat badan yang sehat. Penurunan berat badan yang sehat akan membantu meningkatkan kesehatan secara umum dan menurunkan risiko komplikasi terkait diabetes.

Orang obesitas mungkin akan membutuhkan pendampingan dari tenaga kesehatan profesional untuk membantu mereka menurunkan berat badan. Dampak perbaikan kesehatan akan mulai dirasakan setelah orang yang obesitas berhasil menurunkan sekitar 5-10 persen berat badan mereka.

"Semakin banyak berat badan yang diturunkan, semakin besar manfaatnya," ungkap Mayo Clinic.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement