REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM - Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, mewajibkan semua siswa SMP/MTs sedejarat usia di atas 12 tahun divaksin Covid-19. Kewajiban vaksin ini diterapkan guna membentuk kekebalan tubuh serta meningkatkan keamanan dan kenyamanan dalam berinteraksi di tengah pandemi.
"Kartu vaksin Covid-19 siswa akan menjadi syarat untuk ikut ujian, ulangan, pemberian program beasiswa, dan lainnya," kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Mataram H Lalu Fatwir Uzali di Mataram, Selasa (14/9).
Fatwir mengakui sebelumnya vaksinasi Covid-19 bagi siswa tidak diwajibkan dan tidak menjadi syarat apapun. Namun sejalan dengan program pemerintah peduli lindungi, maka pihaknya mengambil kebijakan semua siswa yang memenuhi syarat wajib divaksin Covid-19 seperti halnya guru.
"Artinya, bagi siswa yang memiliki komorbid atau tidak memenuhi syarat divaksin harus menunjukkan surat keterangan dari tim medis," katanya.
Kebijakan mewajibkan siswa untuk vaksin Covid-19 sekaligus untuk menghilangkan rasa ragu dan takut anak-anak karena mendengar informasi vaksin yang kurang tepat. "Padahal pemerintah sudah menyatakan secara resmi bahwa vaksin Covid-19 aman dan halal. Vaksin bermanfaat meningkatkan imun tubuh sehingga memberikan rasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan orang lain," terang Fatwir.
Untuk memasifkan vaksinasi siswa usia 12 tahun ke atas yang berada pada 44 sekolah tingkat SMP/MTs negeri/swasta se-Kota Mataram dengan jumlah sekitar 12 ribu, telah dilaksanakan layanan vaksinasi di sekolah secara bergantian sesuai jadwal. "Untuk hari ini kegiatan vaksinasi dilaksanakan di SMPN 9 Mataram dengan sasaran sekitar 300 siswa," katanya.
Menurut Fatwir untuk mencapai target vaksinasi siswa sebesar 90 persen dari target sekitar 12 ribu sasaran, pihaknya menargetkan kegiatan vaksinasi pelajar dilakukan setiap hari pada sejumlah sekolah. "Dengan target vaksinasi per hari sekitar 300 sampai 400 siswa. Vaksinasi siswa akan kita laksanakan sampai anak-anak semua tervaksin atau stok vaksin habis," jelas dia.
Menyinggung apakah kebijakan mewajibkan itu termasuk melanggar hak anak karena bisa menimbulkan kesan diskriminasi, Fatwir mengatakan kebijakan itu akan dijalani dulu sembari mencari solusi ketika muncul masalah lain. "Yang kita pikir dan prioritaskan saat ini adalah kesehatan anak-anak sehingga mereka bisa tetap bisa ikut pembelajaran tatap muka," ujarnya.