Jumat 22 Oct 2021 17:45 WIB

Mengendalikan Overfishing dengan Berkah dari Rumput Laut

Nilai ekspor rumput laut terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Sejumlah warga mencari rumput laut saat air surut di pinggiran Pantai Seger, Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Praya, Lombok Tengah, NTB, Ahad (19/9). Nilai ekspor rumput laut terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Foto: ANTARA/Ahmad Subaidi
Sejumlah warga mencari rumput laut saat air surut di pinggiran Pantai Seger, Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Praya, Lombok Tengah, NTB, Ahad (19/9). Nilai ekspor rumput laut terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, OLEH DEDY DARMAWAN NASUTION

 

Potensi Indonesia terhadap komoditas rumput laut amat besar karena modal garis pantai 95,1 ribu kilometer yang terpanjang kedua di dunia. Bonus geografi itu semestinya mendatangkan berkah bagi masyarakat pesisir untuk meningkatkan kesejahteraan dari usaha perikanan budidaya.

Di tengah isu penangkapan ikan secara berlebihan atau overfishing, perikanan budidaya menjadi jawaban sekaligus alternatif yang saling menguntungkan dua pihak. Lapangan pekerjaan bagi masyarakat pesisir dan pengendalian populasi ikan. Hal itu demi penguatan ekonomi biru seperti yang diserukan Presiden Joko Widodo.

Sebagai sumber mata pencaharian, rumput laut tak sebatas menjadi produk makanan. Namun juga sebagai pakan, pupuk, produk kosmetik, hingga produk Farmasi. Karena itu, luasnya produk turunan rumput laut wajib dimanfaatkan Indonesia untuk menggenjot perekonomian setelah jatuh dihantam badai Covid-19.

Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) wilayah Lombok Timur, NTB, Dedy Sopian, menuturkan, KNTI sejak lama bersuara agar perikanan budidaya terus didorong sebagai alternatif mata pencaharian masyarakat nelayan. Solusi itu tidak lain untuk mengurangi beban lingkungan dalam usaha perikanan tangkap.

"Kita melihat fakta di lapangan, kita sudah overfishing. Terlalu banyak alat penangkapan sehingga budidaya harus didorong. Apalagi rumput laut itu hanya butuh alat sederhana," kata Dedy kepada Republika.co.id, belum lama ini.

Hanya saja, potret usaha rumput laut kini cukup memprihatinkan. Ia mengaku, dahulu usaha budidaya rumput laut masif dilakukan masyarakat Lombok Timur. Kini, hanya tersisa dua desa yang masih fokus pada mata pencaharian budidaya rumput laut.

Alasannya, tak lain akibat harga yang kian turun tanpa diimbangi dengan peningkatan keuntungan. Ia menuturkan, rumput laut mentah kering kini dihargai sekitar Rp 15 ribu-Rp 18 ribu per kilogram (kg) untuk kualitas terbaik.

"Pengalaman saya, harga pernah lebih dari Rp 20 ribu. Soal harga ini menjadi tantangan yang luar biasa," ujarnya.

Rendahnya harga rumput laut saat ini dinilai akibat kualitas dan mutu rumput laut yang terus mengalami penurunan. Itu bersumber dari pola budidaya yang masih tradisional, terutama saat pengeringan. Soal ini, modernisasi dibutuhkan masyarakat. Bilaperlu, kata Dedy, pendampingan pemerintah agar pembudidaya dapat mengolahnya menjadi produk jadi bernilai lebih.

Pembudidaya rumput laut di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, Kaimuddin, menuturkan kepada Republika.co.id, usaha budidaya rumput laut masih memiliki prospek bagus. Sebab, banyak masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada rumput laut selain sawah dan tambak.

"Banyak yang berhasil. Ekonominya meningkat dari usaha rumput laut. Dia bisa beli motor, mobil, meskipun dicicil," katanya.

Kaimuddin mengatakan, masyarakat setempat yang tak punya sawah atau tambak pun bisa mengambil alternatif usaha budidaya rumput laut. Baik dengan modal sendiri atau bekerja dengan pemilik usaha budidaya. Menjadi pengikat rumput laut, tukang panen, atau pencuci tali.

photo
Pekerja memperlihatkan rumput laut yang dijemur. - ( ANTARA/Arnas Padda)

"Semua itu ada upahnya dari usaha rumput laut. Contoh jadi pengikat mendapat upah Rp 5.000 per tali, pencuci tali di bayar Rp 2.000 per tali. Biasanya minimal mengerjakan 100 tali," ujar Kaimuddin.

Senada dengan Dedy, ia mengaku harga rumput laut beberapa waktu terakhir sempat turun akibat curah hujan tinggi. Itu membuat kualitas rumput laut mentah menurut karena kadar air tawar yang lebih tinggi. Namun, hambatan itu, biasanya disikapi pembudidaya dengan menyesuaikan kegiatan budidaya rumput laut ketika cuaca bagus.

Dalam rapat bersama Komisi IV DPR beberapa waktu lalu, Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (Astruli) mengungkapkan besarnya peluang Indonesia untuk menggenjot ekspor rumput laut maupun olahannya. Ketua Umum Astruli, Pontas Tambunan, mengemukakan industri rumput laut nasional juga tengah bekerja sama dengan CBI Eropa untuk bisa melakukan ekspor rumput laut ke kawasan eropa. Kerja sama akan dilakukan hingga 2024 mendatang.

Di satu sisi, regulasi pemerintah saat ini sangat mendukung perusahaan untuk melakukan ekspor produk rumput laut. Seperti dalam Roadmap Pengembangan Industri Rumput Laut Nasional di mana ditargetkan produksi rumput laut mentah yang diperdagangkan maksimal 60 persen sementara 40 persen sisanya dalam bentuk olahan.

"Kalau kita tidak bisa mengoptimalisasi itu, kita perusahaan sangat bodoh karena tidak bisa memanfaatkan fasilitas yang diberikan," katanya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor rumput laut Indonesia kurun waktu 2016-2019 mengalami kenaikan cukup signifikan. Dari 109 juta dolar AS tahun 2016 naik menjadi 215,2 juta dolar AS pada 2019. Pada 2020, nilai sedikit mengalami penurunan menjadi 181,3 juta dolar AS. Namun, itu sejalan dengan penurunan volume ekspor.

Pontas mengatakan, mayoritas industri rumput laut saat ini baru mengolah dua jenis rumput laut. Euchema cottonii untuk karaginan serta gracilaria verrucosa untuk bahan baku agar-agar.

Kendati demikian, potensinya jauh lebih besar dari itu. Mengutip catatan Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), dengan potensi geografis, ada 791 spesies rumput laut di Indonesia. Terdiri dari 201 spesies rumput laut hijau, 138 sepesies coklat, serta 452 spesies merah.

Besarnya potensi dengan ribuan pulau yang ada, menjadikan rumput laut sebagai komoditas unggulan dan penggerak utama perekonomian masyarakat pesisir.

Melihat manfaat ekonomi dari rumput laut yang tak bisa dibantah, pemerintah menetapkan rumput laut sebagai salah satu komoditas unggulan dari perikanan budidaya. Prinsip ekonomi biru turut menjadi tolok ukur dalam pengembangan rumput laut nasional.

photo
Seorang pekerja menjemur hasil panen rumput laut. - (Antara/Akbar Tado)

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan, produksi rumput laut pada 2022 ditargetkan bisa mencapai 11,85 juta ton, naik dari tahun lalu 10,9 juta ton. Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP, TB Haeru Rahayu beberapa waktu lalu menuturkan, penerapan ekonomi biru dalam perikanan budidaya harus melalui inovasi dan teknologi yang memperhitungkan keseimbangan antara dampak ekonomi dan ekologi.

Untuk itu, pemerintah telah merancang ekstensifikasi dan intensifikasi lahan budidaya. Salah satunya, melalui kampung rumput laut yang diprioritaskan di wilayah Indonesia Timur sepeti Maluku Tenggara dan Sumba Timur.

Di sisi lain, melakukan riset kelautan dan perikanan untuk membenahi sistem budidaya rumput laut berikut pengembangan produk olahan. Sebab, esensi dari ekonomi biru ada pada optimalisasi sumber daya perairan demi peningkatan perekonomian. Namun, tanpa mengesampingkan faktor keberlanjutan dan kelestarian lingkungan.

“Rumput laut memiliki prospek yang sangat bagus, namun memerlukan pendekatan holistik terhadap seluruh pemangku kepentingan," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement