REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sejarawan Islam Lukman Hakiem menyoroti pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Coumas yang menyebut Kementerian Agama (Kemenag) merupakan hadiah negara untuk Nahdlatul Ulama (NU). Menurut Lukman, pernyataan Yaqut tidak bijaksana.
“Saya mau ingatkan, menteri itu bukan pejabat biasa. Jangan sembarang bicara. Kalau mau bicara harus ada dasarnya,” kata Lukman kepada Republika.co.id, Senin (25/10).
Lukman membandingkan Yaqut dengan salah seorang eks Menteri Agama Munawir Sjadzali. Meskipun sosok Sjadzali dinilai sering membuat publik heboh dengan persoalan misal, hukum waris, tetapi dia memiliki referensi yang kuat sehingga apabila diajak berpolemik tertulis, dia siap.
Lukman menjelaskan, saat Kemenag akan didirikan, umat Islam tidak terpecah menjadi NU, Muhammadiyah, atau kelompok lain. Sebab, kala itu, satu-satunya partai yang menjadi aspirasi dan mewakili umat Muslim adalah Masyumi.
Awal lahirnya Kemenag dimulai dari usulan Muhammad Yamin yang menyebut adanya kementerian Islamiyah untuk mengurus urusan Islam dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 11 Juli 1945. “Zaman Belanda ada badan yang mengurusi kaum pribumi sehingga Muh. Yamin mengusulkan itu,” ujar dia.
Ketika usulan tersebut dibawa ke Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), namanya berubah menjadi kementerian urusan agama. Namun, kekalahan dalam pemungutan suara membuat kementerian urusan agama tidak didirikan dan urusan agama ditangani oleh kementerian pendidikan.
Ini membuat pertanyaan bagi utusan Komite Nasional Indonesia Daerah Keresidenan Banyumas yang terdiri dari KH Abu Dardiri, KH M. Saleh Suaidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro.
Mereka diberi amanah oleh KNI Banyumas untuk membahas persoalan itu di sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada akhir November 1945. Mereka mempertanyakan mengapa saat Indonesia merdeka tidak ada kementerian yang mengurus persoalan agama. Saleh Suaidy menyebut urusan agama jangan diurusi oleh kementerian lain, harus ada kementerian khusus.
Usulan tersebut mendapat dukungan dari anggota KNIP, yaitu Mohammad Natsir, Dr. Marzuki Mahdi, dan M. Kartosudarmo. Tanpa adanya perdebatan, Presiden Soekarno memberi lampu hijau kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta. Usulan ini membuahkan hasil. Pada 3 Januari diumumkan berdirinya Kementerian Agama.
“Pada 3 Januari 1946 lewat Radio Republik Indonesia (RRI), Menteri Agama Pertama H. Mohammad Rasjidi mengumumkan atas pembentukan Kemenag dan dirinya sebagai Menag. Ini diperkuat oleh pidato Wakil Menteri Penerangan Mr. Ali Sastroamidjojo pada 4 Januari 1946,” tuturnya.
Lukman melanjutkan jika dilihat dari pidato H.Rasjidi, pembentukan Kemenag dilakukan untuk melaksanakan Pasal 29 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam ayat 1 dan 2 diterangkan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
“Jadi, dari awal jelas adanya Kemenag untuk melaksanakan pasal 29 sehingga umat Islam bisa mengurus urusan terkait agama sendiri, seperti masjid, kas masjid, dan lain-lain. Intinya, menjamin terlaksana pasal 29 dan yang mengusulkan Muh. Yamin."