Ahad 31 Oct 2021 06:17 WIB

Rektor UII: Permusuhan Atas Nama Agama tak Berdasar

Nilai agama justru membawa sikap saling menghormati, dan perdamaian.

Rektor UII: Permusuhan Atas Nama Agama tak Berdasar. Ilustrasi kerukunan umat beragama/toleransi antaragama
Foto: Pixabay
Rektor UII: Permusuhan Atas Nama Agama tak Berdasar. Ilustrasi kerukunan umat beragama/toleransi antaragama

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Fathul Wahid mengemukakan  permusuhan atas nama agama tidak memiliki dasar pembenar dalam ajaran agama manapun.

"Jika ada sebagian kecil pemeluk agama yang cenderung kepada permusuhan itu adalah fakta sosial, dan bisa terjadi di semua agama. Tetapi, itu bukan dasar yang valid untuk melakukan generalisasi yang membabi buta," kata Fathul dalam Kuliah Umum XIIIVisi Islam Baru untuk Indonesia Maju secara virtual dipantau, Sabtu (30/10).

Baca Juga

Menurut dia, nilai-nilai agama justru membawa sikap saling menghormati, dan perdamaian. "Kita yakin, nilai-nilai perenial agama justru seharusnya, membawa manusia kepada kebaikan, sikap saling menghormati, dan perdamaian," kata dia.

Pew Research Center pada akhir September 2021 menyajikan sebuah laporan terkait dengan permusuhan sosial (social hostilities). Permusuhan sosial dapat berupa kekerasan terhadap identitas agama seseorang, sampai dengan konflik sektarian dan terorisme.

Laporan Pew Research Center tersebut didasarkan pada analisis 198 negara. Pada 2019, permusuhan sosial yang tinggi atau sangat tinggi berdasarkan Social Hostilities Index (SHI) hanya terjadi di 43 negara atau menurun dibandingkan pada 2017 yang terjadi di 56 negara dan 2018 terjadi di 53 negara.

"Ini tentu kabar baik yang perlu disyukuri," kata dia.

Peneliti dari Peace Research Institute di Oslo (PRIO) Gleditsch dan Rudolfsen pada 2016 berdasarkan data yang mereka kumpulkan dari 1946-2014 menunjukkan dari 49 negara yang mayoritas penduduknya Muslim, 20 atau 41 persen di antaranya mengalami perang sipil. Total durasi perang adalah 174 tahun atau sekitar tujuh persen dari total umur kumulatif semua negara tersebut (2.467 tahun).

Pasca-Perang Dingin, menurut dia, sebagian besar perang adalah perang sipil dan proporsi terbesar terjadi di negara-negara Muslim. "Bukan hanya karena perang sipil di negara-negara muslim meningkat, tetapi juga karena konflik di negara lain berkurang. Fakta yang lebih dari cukup untuk mencelikkan mata kita," kata dia.

Meski demikian, lanjut Fathul, empat dari lima negara dengan penduduk Muslim terbesar, tidak terjebak dalam perang sipil. Indonesia salah satunya, dan tiga yang lain adalah India, Bangladesh, dan Mesir.

Mantan pentolan CIA Fuller dalam bukunya A World Without Islam mengamini bahwa ajaran Islam tidak mempunyai korelasi dengan konflik. "Karenanya, merevitalisasi peran agama saat ini menjadi semakin penting, ketika fakta di lapangan memerlukan penjelasan yang lebih canggih," kata dia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement